Pages

Tuesday, May 12, 2009

Tugas Ringkasan Bahan Bacaan Kuliah


Pengetahuan, Persahabatan, dan Hikmat

(dalam buku “Etika Sosial Lintas Budaya” Hal 73-111, pengarang Bernard Adeney, diterbitkan di Yogyakarta tahun 2000)

Sebelum membahas ketiga hal yang tersebut dalam judul, bacaan ini memberikan pengertian tentang pengetahuan, persahabatan, dan hikmat. Pengetahuan adalah informasi kognitif yang diperlukan untuk membuat keputusan-keputusan yang baik dan bertindak dengan baik. Hikmat adalah penggabungan praksis, pengetahuan, komunikasi-dialog, dan membuat kehadiran kita sesuai dengan situasi sekitar. Persahabatan adalah kunci kepada pengetahuan, komunikasi dan hikmat dalam suatu konteks asing.

Pengetahuan tentang bagaimana bertindak dalam situasi tertentu sangat bergantung pada informasi kultural yang kita peroleh dengan tepat. Cara terbaik yang dapat kita lakukan untuk mendapatkannya adalah menjalin persahabatan dengan masyarakat setempat. Mengapa hal ini perlu dilakukan? Karena ini adalah sarana paling ampuh dan efektif untuk memperoleh pengetahuan akan budaya lain, terutama budaya yang akan kita kenal. Persahabatan juga merupakan sarana dan tujuan pengetahuan lintas budaya. Berhasil atau tdaknya kita memperoleh pengetahuan suatu budaya tertentu bergantung seberapa cepat kita memperoleh sahabat. Untuk memulai dan membangun suatu persahabatan tersebut kita harus mulai belajar aturan-atuarn yang sesuai dengan konteks budaya yang akan kita kenal. Lalu, apa yang harus kita lakukan untuk mewujudnyatakan persahabatan tersebut? Komunikasi dan dialog adalah kunci utama dalam membangun persahabatan. Kita sebagai individu harus sadar bahwa kita hidup dalam keberagaman komunitas (iman) dan mempunyai sudut pandang dalam pengetahuan yang sangat terbatas. Dialog adalah sarana pendekatan yang efisien, manfaat yang kita dapat saat kita melakukan dialog dengan budaya lain adalah memperoleh perspektif pengetahuan tentang budaya lain yang akan kita kenal. Mungkin, dalam melakukan pendekatan itu kita terkendala dengan adanya perbedaan-perbedaan nilai. Ada lima cara untuk menghadapi perbedaan-perbedaan nilai tersebut. Kelima cara tersebut adalah tidak menerima, subtitusi, menambahkan, kombinasi, dan sintesis atau integrasi.

Mengenani persahabatan, ada tawaran menarik dari Aristoteles tentang tiga tipe persahabatan. Pertama, persahabatan yang didasarkan pada sebuah pertolongan (contohnya, orang kuat menolong yang lemah). Kedua, persahabatan yang didasarkan pada hubungan timbal balik demi memperoleh suatu keuntungan tertentu. Ketiga, persahabatan yang didasarkan pada persahabatan itu sendiri, dimana pihak-pihak yang sama kedudukannya saling memberikan perhatian tanpa maksud apapun. Pertanyaannya, adakah tipe persahabatan yang ideal? Jawabnya ada, yaitu tipe persahabatan ketiga. Persahabatan itu dapat menjembatani setiap kendala apapun, membutuhkan pengorbanan yang besar, komitmen, kejujuran, dan kasih.

Hikmat adalah (mungkin) sesuatu yang abstrak bagi kita. Sebenarnya, hikmat adalah keterbukaan terhadap suatu kebenaran karena muncul dari suatu konfrontasi anatara pengetahuan dan suatu realitas yang tiodak dikenal. Diperlukan suatu keterbukaan terhadap “sesuatu yang asing”, berani menerima sesuatu yang berbeda serta berusaha mencari dan menemukan keterpaduan logis. Terpenting, pra-paham yang kita anggap benar rela ditelanjangi. Selain itu, hikmat berakar dama sebuah komitmen karena komitmen yang dimiliki berasal dari pengalaman sehari-hari. Terakhir, hikmat yang tidak diucapkan berakar pada keperdulian. Hikmat tidaklah dapat diungkapkan melalui kata yang puitis dan drmatis, harus ditunjukkan dengan hal-hal yang bersifat konkrit yaitu sikap peduli yang kita lakukan kepada sesama.

Saya ingin memberikan beberapa catatan kritis dalam membangun persahabatan. Pertama, kita juga harus melihat konteks budaya mana yang akan kita kenal. Secara umum, ketika orang asing akan memasuki budaya tertentu, pastilah sang empunya budaya tersebut merasa curiga akan kedatangan seorang yang asing. Apalagi jika orang itu baru pertama kali menginjakkan kakinya. Jika kita lihat dalam konteks Indonesia yang pluralitas ini, terutama setelah terjadi banyaknya kasus yang berbau SARA akhir-akhir ini, dibutuhkan suatu bentuk konkrit bagaimana kita membangun persahabatan dengan budaya yang (mungkin) selama ini belum atau tidak kita kenal. Kedua, harus ada kemauan dari setiap individu untuk menjalin persahabatan dengan suatu budaya yang baru. Mustahil persahabatan akan terbangun bila dari dalam diri individu sendiri tidak timbul kemauan. Kemauan adalah sebuah modal dari dalam diri individu untuk membangun sebuah persahabatan yang “kekal” dangan budaya yang baru. Janganlah asal-asalan. Ketiga, dibutuhkan suatu keterbukaan. Dalam ringkasan mungkin sudah disinggung perlunya keterbukaan dalam menjalin persahabatan. Keterbukaan sangatlah penting dalam persahabatan itu sendiri karena bila kedua pihak mau terbuka terhadap masing-masing serta saling menghargai, pastilah persahabatan itu akan terbangun dengan sendirinya tanpa harus dipaksakan. Keempat, tentang tipe persahabatan ketiga yang ditawarkan oleh Aristoteles. Meskipun sudah ada komitmen, kejujuran, kasih, dan pengorbanan, saya masih ragu apakah persahabatan akan terbangun. Bisa saja, itu semua diperlihatkan hanya di luarnya saja, di dalamnya bertentangan. Sangat berbahaya!

Pertanyaannya, apakah solusi konkrit yang bisa membangun persahabtan itu sendiri? Akankah tipe persahabatan yang diberikan oleh Aristoteles sebagai contoh bentuk persahabatan yang ideal akan terealisasi jika kita menerapkannya? Hanya kita sendiri yang dapat menjawab.

Yogyakarta, 12 Mei 2009,

Di siang hari berhawa dingin yang menusuk kulit

1 comment:

  1. Redy Joko PrasetyoMay 12, 2009 at 10:30 PM

    Jangan LUpa COpy paste HTML di BLog ku http://berkaseredy.blogspot.com

    Redy

    ReplyDelete