Pages

Thursday, December 17, 2009

Ritual Buddha: Perayaan Pergantian Tahun

Nama : Virgo Tri Septo Anggoro
NIM : 01082201
Matakuliah : Antropologi Agama
Tugas : Paper Akhir Semester

Ritual Buddha: Perayaan Pergantian Tahun

I. Pengantar
Agama Buddha sebagai salah satu agama yang diakui keberadaannya di Indonesia mempunyai ritual-ritual yang dapat kita pelajari dan (mungkin) hal yang kita pelajari tersebut dapat bermanfaat bagi kita. Dalam paper akhir ini saya mengambil contoh agama Buddha karena menurut saya mereka terbuka ketika diajak berdialog dan tidak sungkan memberi penjelasan tentang hal-hal yang berkaitan dengan ritual yang mereka lakukan. Ada baiknya saya memberi sedikit gambaran tempat ibadah yang saya kunjungi dan teliti. Nama tempat ibadahnya adalah Vihara Buddha Praba yang terletak di Jl. Brigjend. Katamso no. 3 Yogyakarta. Vihara in termasuk dalam kategori bangunan cagar budaya karena usianya yang tergolong sudah cukup tua. Jenis ritual yang coba saya sajikan pada paper ini adalah ritual Pergantian Tahun yang biasanya jatuh pada tanggal 1 dan 15 Imlek menurut penanggalan mereka. Ritual ini termasuk ritual khusus dan dilaksanakan hanya sekali setahun. Bagaimana jenis-jenis persiapan, bentuk “liturgi”, simbol-simbol yang dipergunakan, dan kaitannya dengan teori yang telah kita dipelajari di kelas, saya paparkan dan jelaskan pada bagian berikutnya. Harapan saya, semoga paper ini bermanfaat bagi kita semua dan kita dapat belajar hal baru serta mencoba lebih terbuka dengan keyakinan lain.

Wednesday, November 11, 2009

Implikasi Pendidikan Kristiani di Gereja Asal

Nama : Virgo Tri Septo Anggoro
NIM : 01082201
Mata Kuliah : Pendidikan Kristiani
Tugas : Paper Implikasi Pendekatan-Pendekatan Pendidikan Kristiani
menurut Jack L. Saymour

Implikasi Empat Pendekatan Pendidikan Kristiani di GKI Jombang:
Sebuah Tinjauan Ulang

I. PENDAHULUAN
Pendidikan adalah hal yang tidak dapat terpisahkan dari kehidupan gerejawi, baik di masa lalu, masa kini maupun di masa yang akan dating. Mengapa demikian? Hal ini terkait dengan pengajaran tentang firman Tuhan dan ajaran-ajaran gerejawi agar jemaat dapat memahami dan menghayati sebagai sebuah pemikiran yang rasional dan spiritual. Apalagi jika kita melihat konteks GKI Jombang yang terdiri dari berbagai ragam jemaat dan tentunya mempunyai keunikan masing-masinh sebagai individu. Namun, keunikan tersebut tidaklah boleh menjadi suatu batu sandungan untuk bertumbuh dan berkembang. Maka melalui mata kuliah Pendidikan Kristiani ini kita belajar mengenai empat pendekatan pendidikan Kristiani yang biasanya terdapat di jemaat dan secara langsung atau tidak langsung diterapkan. Dalam paper ini, saya akan mencoba mengulas kembali empat pendekatan ini yang sebelumnya sudah saya peroleh di kelas, baik melalui tugas baca, diskusi maupun tugas pengamatan di lapangan. Kemudian, saya juga mencoba untuk menganalisisnya dengan mengkaitkan empat pendekatan tersebut dengan kehidupan jemaat di gereja saya terutama dalam hal implikasi-implikasinya. Bahan referensi yang saya pergunakan hanya satu, yaitu buku Mapping Chritian Education: Approaches to Congregational karena saya mencoba untuk menuangkan konsep pikiran saya dan lebih mengkaitkannya dengan kehidupan di jemaat.

II. ISI
II.1. Teori-teori Pendekatan Pendidikan Kristiani
Pada bagian isi, saya akan terlebih dahulu mencoba untuk menjabarkan ulang mengenai teori-teori pendekatan pendidikan Kristiani yang terdapat dalam buku Mapping Chritian Education: Approaches to Congregational Learning karya Jack L. Saymour. Ada empat macam pendekatan, yaitu pendekatan instruksional religius, pendekatan perkembangan spiritual, pendekatan komunitas iman, dan pendekatan transformasi. Untuk lebih jelasnya, silahkan simak hasil pemaparan saya berikut ini.
1. Pendekatan Instruksional Religius
Pendekatan ini adalah pendekatan yang sering muncul dan dapat kita jumpai hampir di semua gereja. Tujuan dari pendekatan ini adalah memampukan naradidik untuk bertumbuh dalam iman Alkitabiah dan membuat koneksi atau hubungan antara isi iman dan kehidupannya. Harus ada sebuah relevansi antara teks dan konteks sehingga tercipta sebuah hubungan timbal-balik dan tidak searah. Apabila kita hanya mendasarkan pada slaah satu saja (teks atau konteks) akan terjadi hubungan yang tidak seimbang dan berat sebelah. Akibatnya, relevansi hanya satu arah, banyak kelemahan serta kurang up to date. Penjabaran tujuan yang lain adalah berfokus pada suasana dan metode-metode belajar-mengajar yang tepat. Terpenting, kita dapat menghubungkan antara iman yang kita miliki dengan realitas kehidupan nyata yang kita hadapi. Berikutnya, fasilitator atau pengajar barada dalam suatu kemitraan dengan naradidik untuk membangun sebuah ruang dan proses pembelajaran. Kemitraan yang dimaksud, fasilitator bertanggungjawab dalam membangun suasana yang menghargai integritas isi pembelajaran, naradidik, dan praksis sebagai implikasi dari iman. Mengapa fasilitator harus menghargai naradidik? Karena mereka (naradidik) mengikuti suatu proses pembelajaran bukanlah dengan kepala kosong tetapi sudah ada suatu konsep dalam benak mereka, minimal pengalaman kehidupan sehari-hari yang telah mereka peroleh. Mempertimbangkan proses belajar yang akan dilaksanakan. Hal lain yang menjadi tugas seorang fasilitator adalah memampukan naradidik untuk berpikir dan memahami isi Alkitabiah sesuai dengan pengalaman yang mereka dapat serta membantu untuk memilih suatu cara hidup dalam dunia sebagai respon terhadap panggilan Allah. Sedangkan naradidik adalah penyumbang yang bertanggungjawab terhadap proses pembelajaran dan sebagai mitra/partner. Ketika naradidik mengikuti proses pembelajaran, seperti yang telah saya singgung di atas, membawa sesuatu dalam benak mereka. Mereka tidak datang dengan kepala kosong atau tangan hampa. Selama proses pembelajaran naradidik aktif dalam mendengar dan berbicara. Proses pendidikan atau pembelajaran dalam pendekatan ini adalah terjadinya sebuah refleksi teologis yang terjadi dalam mengetahui, menginterpretasi, menghidupi dan melakukan iman; proses ini berlangsung bersama antara fasilitator dan naradidik. Konteks yang ada adalah kekeluargaan dimana terdapat suatu komunitas belajar yang memberdayakan pembelajaran yang setia untuk segala usia. Komunitas belajar adalah suatu komunitas yang menghargai suasana belajar, mempunyai suatu iklim harapan untuk belajar bertumbuh dan belajar bertanggungjawab, saling belajar satu sama lain, dan proses pembelajarannya bersifat eksperiensial atau berdasarkan pengalaman. Ada suasana kekeluargaan dalam proses belajar mengajar, tanpa memandang strata dan semua (baik naradidik maupun fasilitator) bekerjasama. Implikasi dari pendekatan ini untuk pelayanan mempersiapkan orang dengan suatu cerita dan iman agar hidup bertanggungjawab dan setia dalam berhadapan dengan dunia. Mereka nantinya dapat siap dalam menghadapi realitas dunia. Ada suatu model dari pendekatan instruksional religius yaitu instruksional yang beracuan tujuan. Beberapa hal yang harus diperhatikan adalah perumusan tujuan dilakukan sejak awal, setelah rumusan tujuan dirumuskan maka ditindaklanjuti dengan menerapkannya dalam proses belajar-mengajar, kemudian dilakukan evaluasi terhadap rumusan tujuan yang telah dibuat, apakah sudah sesuai atau masih diperlukan perbaikan dan penyesuaian.
2. Pendekatan Perkembangan Spiritualitas
Teori pendekatan ini menekankan tentang perkembangan spiritual dari individu selama ia hidup. Tujuan dari pendekatan ini adalah membantu orang-orang dalam mengembangkan kehidupan batin dan merespon dengan aksi keluar kepada sesama dan dunia. Seseorang berusaha untuk melatih spiritualitas (iman) yang ada dalam dirinya serta mengembangkannya agar kehidupan batinnya bertumbuh sehingga ia dapat merespon apa yang ada di luar dirinya dan dapat berbuat sesuatu yang riil bagi sesame dan lingkungan sekitar. Namun, perlu diingat bahwa ukuran pertumbuhan iman tidak hanya menyangkut kehidupan batin saja tetapi juga hubungan atau relasi dengan sesama. Fasilitator adalah pembimbing atau musafir dalam perjalanan kehidupan batin dan respon ke luar bersama sesama. Naradidik adalah pribadi dalam suatu perjalanan. Fasilitator tidak membiarkan naradidiknya berjalan sendiri, ia menjadi rekan atau mitra. Mereka berjalan bersama dan beriringan dalam menapaki kehidupan batin serta bersama pula dalam memberikan respon ke luar terhadap sesama. Proses pendidikan adalah hening, mendengar, istirahat, belajar, melayani. Hening dan mendengar mepunyai sebuah keterkaitan karena dalam keheningan tersebut kita mencoba untuk mendengar. Butuh semangat spiritualitas untuk melakukannya, tanpanya kita akan merasakan sebuah kekeringan dan sulit untuk mendengar. Dari hening dan mendengar kita dapat belajar dan melayani sebagai sebuah tindak lanjut, tentunya beristirahat untuk merenungkan semua tindakan tersebut. Proses tersebut haruslah dilakukan dengan seimbang. Konteksnya adalah keadaan di mana seseorang mengalami pembentukan spiritual dan melakukan pelayanan sosial. Implikasi untuk pelayanan, menghubungkan orang-orang dengan sumber-sumber kehidupan terdalam yang memanggil mereka kepada relasi, persahabatan, kepedulian dan keadilan. Tidak hanya bertumbuh secara pribadi saja tetapi juga bertumbuh dengan sekitar dan secara kontekstual. Maka, refleksi teologis dilakukan melalui perkembangan dalam diri orang itu dalam rangka hidup bersama orang lain dalam dunia ini (inner life yang tampak dalam outward response). Kata kunci yang dipakai dalam pendekatan ini adalah person. Lalu, bagaimana hubungan person dan komunitas di mana ia bertumbuh? Seperti yang saya uraikan sebelumnya, terdapat suatu hubungan antara inner life dengan outward response. Hubungan ini berdampak pada kehidupan spiritualitas pribadi (seperti doa dan ibadah) yang mana haruslah seimbang dengan pelayanan sosial kita (sebagai hasil refleksi).
3. Teori Pendekatan Komunitas Iman
Teori pendekatan komunitas iman adalah suatu pendekatan yang berdasarkan pada adanya suatu komunitas di suatu tempat. Tujuan dari pendekatan ini adalah membangun komunitas yang mempromosikan perkembangan manusia yang otentik; membantu personal-personal membentuk komunitas. Dalam hal ini, pendekatan komunitas iman ingin membangun komunitas dan juga membantu perkembangan manusia yang otentik atau asli tanpa ada “imitasi”. Juga menghargai person-person dalam komunitas dan membiarkan mereka berkembang sesuai dirinya. Maksudnya, mereka diberi suatu kebebasan untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan bakat dan kemampuan yang ada dalam dirinya sendiri tanpa ada intimidasi atau paksaan dari pihak lain. Namun, ada hal penting yang harus kita perhatikan. Jangan sampai karena kita berada dalam suatu komunitas (mungkin cukup besar) kita merasa aman. Kita tidak boleh selalu menggantungkan diri dalam komunitas di mana kita berada, ada kalanya kita harus terpisah (atau memisahkan diri) dari komunitas tersebut. Harus diingat juga, komunitas bukanlah kumpulan orang-orang. Dari sisi fasilitator, fasilitator adalah seorang pemimpin yang memfasilitasi kelompok-kelompok kecil dan membantu anggota-anggota jemaat membentuk kehidupan jemaat dan misi. Naradidik adalah orang-orang dan komunitas iman. Proses pendidikan yang dilakukan adalah pelayanan-refleksi-aksi. Pelayanan yang dimaksud tidaklah hanya pelayanan ke dalam gereja, tetapi lebih diutamakan pelayanan ke luar yaitu ke arah masyarakat. Setelah melakukan pelayanan, kita seyogyannya mencoba untuk merefleksikannya dan kemudian melakukan aksi yang nyata sebagai hasil dari refleksi itu. Selain pelayanan dan refleksi diperlukan juga persekutuan karena hal ini akan mendukung komunitas itu sendiri dan dampaknya, relasi di antara anggota komunitas itu akan semakin akrab. Maka, dapat dikatakan bahwa antara heart-head-hands, kognisi-afeksi-aksi haruslah dilakukan dengan seimbang. Apabila hanya salah satu saja yang ditonjolkan dapat berdampak terjadi suatu ketidakseimbangan. Konteksnya adalah jemaat yang berada dalam komunitas yang lebih luas. Implikasi untuk pelayanan dari pendekatan komunitas iman adalah membantu kelompok-kelompok dan gereja-gereja membentuk komunitas dan menjangkau dunia. Dalam hal menjangkau dunia, kelompok-kelompok dan gereja-gereja haruslah mencoba untuk berpikir global, beraksi lokal (think globally, act locally). Apa maksudnya? Kelompok-kelompok dan gereja-gereja haruslah mempunyai sebuah pemikiran yang sifatnya global atau universal dan untuk mewujudkannya dapat melakukan sebuah tindakan yang mampu dilakukan konteks lokal dan bersifat lokal pula. Namun, perlu juga berpikir lokal, bertindak global (think locally, act globally). Jadi kita memikirkan permasalahan apa yang terjadi di sekitar kita (lokal) dan apa dampaknya bagi lingkungan secara universal sehingga kita bisa menentukan suatu tindakan yang bersifat universal atau global. Di dalam suatu komunitas, kita tidak hanya membagikan pengalaman pribadi saja tetapi juga setiap pergumulan yang ada di dunia.
4. Teori Pendekatan Transformasi
Pendekatan ini memaparkan pentingnya sebuah perububahan (sosial) dalam kehidupan. Tujuan dari pendekatan ini adalah membantu orang-orang dan komunitas untuk mempromosikan (menekankan) kewarganegaraan yang setia dan perubahan sosial. Pengertian transformasi di sini lebih menekankan pada perubahan radikal yang mensyaratkan adanya perubahan sosial. Pendekatan ini juga bertujuan mendukung keberadaan manusia dalam terang pemerintahan Tuhan atau dengan kata lain menjadi sponsor yang menguatkan, memampukan dan memanusiawikan (human emergence). Namun, sehubungan dengan pendekatan ini ada sebuah pertanyaan yang dapat kita refleksikan, adakah preferential option for the poor? Fasilitator dalam hal ini mengundang naradidik dalam kemitraan untuk melakukan refleksi dan aksi, atau dengan kata lain fasilitator yang pertama kali mengambil inisiatif untuk mengajak naradidik. Naradidik adalah agen-agen sejarah yang bebas dan bertanggungjawab, mencakup individu dan komunitas. Naradidik bertumbuh menuju Kristus secara aktif dan kritis dalam refleksi. Tidak hanya sekedar menerima dan menunggu sebuah gagasan atau tindakan tetapi berusaha untuk “menjemput bola” (aktif) dan kritis terhadap setiap gagasan atau tindakan yang ditemui. Bertumbuh dalam konteks pendekatan ini mencakup tiga aspek, bertumbuh dalam visi Tuhan, bertumbuh dalam nilai-nilai Kristus, dan bertumbuh dalam panggilan Roh Kudus. Proses pendidikan yang berlangsung adalah melihat-menilai/menentukan-melakukan aksi. Ketika melihat suatu kejadian yang membutuhkan suatu tindakan, individu tidak hanya melihanya dan berangan-angan saja, juga menilai atau menentukan suatu rencana tindakan yang kemudian diwujudkan dalam sebuah aksi. Konteksnya, gereja yang berbelarasa dan pelayanan-pelayanannya di dalam dan bersama dunia. Gereja tidak hanya berkutat dalam pelayanan intern tapi juga mencoba untuk melihat ke arah dunia dan melayaninya baik di dalam maupun bersama dunia itu sendiri. Implikasi dalam kehidupan bergereja adalah mendukung panggilan gereja untuk menjadi cara alternatif dalam melihat kehidupan, berada dan hidup. Maksudnya, panggilan gereja untuk menjadi garam dan terang dunia akan terwujud jika gereja mau melihat kehidupan di sekitarnya, berada dalam kehidupan itu dan mau hidup bersama kehidupan itu sehingga gereja akhirnya menjadi sebuah cara alternatif bagi kehidupan di sekitarnya.

II.2. Implikasi-implikasi dalam Kehidupan Berjemaat di GKI Jombang
Sebelum menjelaskan implikasi-implikasi pendekatan pendidikan Kristiani menurut Seymour, saya akan sedikit menguraikan keadaan umum GKI Jombang. GKI Jombang merupakan satu-satunya jemaat GKI yang terdapat di kota Jombang. Terletak di pusat kota yang terkenal dengan daerah “segitiga emas”. Jumlah jemaat GKI Jombang menurut data statistik gereja per 31 Desember 2008 adalah 524 orang dan jemaat yang aktif 414 orang, sisanya tidak aktif karena alasan berdomisili di luar kota, menempuh studi di luar kota, dan lain-lain. Struktur kemajelisan dibagi menjadi tiga bidang, Bidang 1 menangani Pembinaan dan Pengorganisasian, Bidang 2 menangani Ibadah dan Kebersamaan, dan Bidang 3 menangani Oikumene, Kemasyarakatan & Penatalayanan. Terdapat enam komisi, yaitu Komisi Anak, Komisi Pemuda/Remaja, Komisi Dewasa, Komisi Lanjut Usia (Lansia), Komisi Kesaksian dan Pelayanan (Kespel), dan Komisi Musik Gerejawi (Muger) serta yang baru saja terbentuk adalah Tim Ibadah.
Sekarang, saya akan mencoba untuk menganalisis implikasi-implikasi pendekatan ini dalam kehidupan jemaat di mana saya bergereja sejak kecil. Pertama, pendekatan Instruksional Religius.Seperti sudah saya katakan pada awal penjabaran pendekatan ini, di setiap gereja pastilah ada. Demikian pula di gereja saya, mulai dari kegiatan Ibadah Minggu hingga kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh Komisi anak hingga Komisi Lansia, terdapat pendekatan instruksional religius. Kita awali dari Ibadah Minggu. Dalam ibadah Minggu terdapat unsur pembinaan iman dan pengajaran melalui kotbah yang disampaikan oleh pendeta. Katekisasi, jemaat mendapatkan pembekalan tentang pokok-pokok iman Kristen, ajaran gereja, dan tata gereja sebelum menerima babtis/sidi. Pemahaman Alkitab, jemaat mendapat pemahaman yang benar mengenai firman Tuhan, belajar bersama tentang Alkitab, dan mencoba untuk merefleksikan dengan kehidupannya sehari-hari. Sedangkan tugas Tim Ibadah adalah mempersiapkan Ibadah (konsptor) dan nantinya selesai pelaksanaan akan memberikan evaluasi.
Komisi Anak, ada kegiatan Sekolah Minggu yang bertujuan memberikan pembinaan iman yang terus-menerus dalam proses beriman mereka kepada Tuhan Yesus dan perlunya memberi contoh dan petunjuk bagaimana mewujudnyatakan iman mereka dalam kehidupannya sehari-hari. Terlihat, tujuan pendekatan instruksional religius diterapkan. Ada upaya untuk membuat koneksi antara iman yang berdasarkan Alkitabiah dengan kehidupan sehari-hari. Untuk melakukan kegiatan tersebut, Guru-guru Sekolah Minggu mempersiapkan diri terlebih dahulu dalam Persiapan Sekolah Minggu lima hari sebelumnya untuk membahas bahan pelajaran, penerapan dan aktivitas yang akan diberikan. Selain itu, untuk memberikan dasar dan landasan iman yang benar, menarik benang merah dari refleksi yang berbeda dari setiap guru agar ada persamaan persepsi dan isi bahan yang disampaikan kepada anak. Ada pula Pembinaan Guru Sekolah Minggu. Tujuannya untuk memberikan bekal kepada guru agar mampu mengajar dengan baik sehingga bisa mengajak naradidik bersama membangun suasana belajar yang menyenangkan dan kekeluargaan. Komisi Pemuda/Remaja, terdapat kegiatan Persekutuan Doa dan Pemahaman Alkitab. Dalam Persekutuan Doa, pemuda/remaja diajak untuk bertumbuh imannya dengan benar dan terarah dalam Kristus serta membentuk karakter diri dengan landasan iman Kristen. Pemuda/remaja diajak untuk belajar bagaimana hidup yang benar. Pemahaman Alkitab adalah wadah untuk belajar secara lebih mendalam tentang Alkitab, tujuannya remaja dapat mengaplikasikan apa yang didapat dalam PA ini dalam kehidupannya sehari-hari sehingga pemuda/remaja dapat merelevansikan antara teks yang dipelajari dengan kehidupan nyata. Untuk mempersiapkan kegiatan-kegiatan tersebut, seperti Komisi Anak, Komisi Pemuda/Remaja juga mengadakan persiapan untuk petugas pelayanan agar Persekutuan Doa dan Pemahaman Alkitab dapat berjalan lancar. Terdapat juga pembinaan bagi pengurus dimana melalui pembinaan yang diadakan, pengurus memiliki bekal kepemimpinan, mengetahui makna pelayanan yang benar bagi Tuhan, dan memiliki daya kinerja yang baik sebagai tim. Komisi Dewasa, kegiatan yang sesuai dengan pendekatan instruksional religius adalah Persekutuan Dewasa yang memiliki tujuan menguatkan iman dan kerohanian jemaat dewasa dalam menghadapi pergumulan hidup pribadi, keluarga dan dengan lingkungan sekitarnya.
Komisi Lansia juga memiliki persekutuan yang diadakan tiap 1 bulan sekali. Sama seperti komisi-komisi yang lain, tujuanya adalah menambah kekuatan iman dan kesetiaan serta ketekunan dalam berbakti kepada Tuhan di usia yang semakin senja. Di luar peresekutuan rutin, KomisiLansia juga mengadakan kegiatan pembinaan dengan materi-materi seputar kehidupan lansia, misalnya kesehatan dan kegiatan ini biasanya berlangsung dengan melibatkan lansia dari gereja lain. Komisi Kespel dalam bidang pembinaan mengadakan Seminar bagi Remaja tentang Reproduksi Remaja, Narkoba dan Kecanduan Minuman Keras bagi siswa SMP dan pemuda/remaja agar mereka tidak terjerumus ke dalam kasus-kasus narkoba dan pelanggaran seks. Tentunya seminar ini juga dikaitkan dengan kehidupan rohani.
Pendekatan yang kedua, pendekatan Komunitas Iman. Pendekatan ini terlihat diterapkan di Komisi Pemuda/Remaja dalam kegiatan Pemahaman Alkitab. Selain wadah pembinaan, PA juga wadah untuk men-share-kan pengalaman dan pergumulan yang dihadapi serta mencari solusi yang tepat untuk menyelesaikannya. Tidak hanya pergumulan secarapribadi saja, terkadang kita juga membahas isu-isu yang bersifat sosial, berhubungan dengan kehidupan bermasyarakat, dan kontekstual. Kegiatannya sebagai berikut, setelah membahas isi materi dilanjutkan dengan share dari masing-masing peserta PA tentang pengalaman pribadi. Lalu, pemimpin menanggapinya dengan memberikan sebuah isu yang hangat dibicarakan di masyarakat dan peserta diminta untuk merefleksikan kemudian menyampaikan hasil refleksinya itu dalam forum PA tersebut.
Pendekatan ketiga yang terdapat di gereja saya adalah Pendekatan Transformasi. Hal ini tampak dalam Komisi Kespel melalui program Pemberian Bantuan Beasiswa, Pelayanan Diakonia, dan Pengobatan Gratis yang biasanya diadakan bertepatan dengan bulan Keluarga. Pemberian bantuan beasiswa ditujukan untuk anak didik yang kurang mampu tanpa melihat prestasi. Hal ini dilakukan karena melihat semakin mahalnya biaya pendidikan dan banyak orang tua yang kurang mampu untuk membiayai pendidikan anaknya. Diharapkan dengan pemberian beasiswa ini anak semakin terpacu untuk terus berprestasi dan memberi yang terbaik bagi hidupnya. Perlu diketahui bahwa penerima bantuan tidak hanya jemaat gereja yang kurang mampu tetapi juga jemaat gereja lain dan terkadang ada yang berbeda keyakinan. Program kedua, Pelayanan Diakonia yang bertujuan membantu anggota jemaat yang mengalami kesulitan dalam bidang ekonomi sehingga beban jemaat tersebut menjadi lebih ringan. Dari bantuan yang diberikan itu, Komisi Kespel juga mempunyai suatu harapan agar jemaat yang menerima dapat memanfaatkan bantuan itu untuk hal-hal yang berguna dan dapat memenuhi kebutuhan sendiri tanpa terus menggantungkan pada orang lain. Program ketiga, Pengobatan Gratis. Awalnya program ini hanya diperuntukkan warga jemaat. Seiring berjalannya waktu, kegiatan ini terbuka untuk umum dan bagi yang tidak mampu. Kegiatan yang dilakukan tidak hanya pemeriksaan saja tetapi juga pemberian fasilitas obat gratis tanpa harus membayar sepeser pun.

III. PENUTUP
Demikianlah hasil pemaparan saya mengenai pendekatan-pendekatan Pendidikan Kristiani dan implikasinya bagi kegidupan di gereja saya, GKI Jombang.Jika kita perhatikan, tidak semua pendekatan terimplikasi. Ada satu pendekatan yang tidak terdapat dalam gereja saya. Menurut saya, hal ini wajar dan tidak perlu dipermasalahkan. Tidak semua gereja mempunyai kehidupan dan permasalahan yang kompleks, masing-masing mempuyai dinamika kehidupan jemaat yang khas. Tinggal bagaimana kita menghayati dan menerapkan implikasi yang ada agar gereja kita menjadi lebih baik. Terpenting, apa yang dapat kita berikan bagi pertumbuhan gereja kita di masa yang akan datang dan tentunya hal itu dapat kita lakukan sesuai kemampuan yang kita miliki. Satu hal tidak boleh dilupakan, jangan melupakan konteks jemaat di mana kita berjemaat karena hal itu juga akan berpengaruh. Semoga tulisan saya ini dapat berguna bagi kita dalam mempelajari Pendidikan Kristiani dan mengaplikasikan apa yang telah kita peroleh dengan sungguh-sungguh. Saya mohon maaf bila terdapat kata yang kurang berkenan. Kritik dan saran yang membangun senantiasa saya nantikan guna untuk kesempurnaan tulisan saya di masa mendatang. Terimaksih. Tuhan Memberkati.

Wednesday, November 4, 2009

Syukurku...


terimakasih Bapa untuk satu hari yang boleh aku jalani lagi...
trimakasih juga untuk setiap pengalaman yang boleh aku peroleh bersama Engkau..
banyak pelajaran yang dapat aku terima..

di saat aku bingung kepada siapa aku harus menyelesaikan tugas paper,
mencari teman untuk mengungkapkan apa yang menjadi permasalahanku,
Engkau menghadirkan orang-orang yang bersedia membantu dan membangkitkan motivasiku lagi
kasihMu memang tiada taranya Bapa bagiku...Engkau seperti sudah merencanakan
dan mengethui apa yang aku butuhkan..

hanya satu permintaanku pada pagi ini...
kiranya Engkau tetap setia menjagaku dan menyertaiku..
Amin.

yogyakarta, 26 oktober 2009
di pagi yang cukup dingin dan rasa kantuk yang mulai mengelayuti tubuh serta pkiranku....

Tuesday, October 27, 2009

Tugas Pengamatan Transformasi Mata Kuliah Pendidikan Kristiani


Minggu, 24 Oktober 2009 saya melakukan pengamatan tentang teori pendekatan transformasi di GKI Ngupasan, Yogyakarta. Namun, saya tidak melakukan pengamatan secara langsung, lebih tepatnya saya melakukan wawancara dengan salah satu anggota Majelis Jemaat untuk memperoleh data-data yang berkaitan dengan teori pendekatan transformasi dan data-data yang saya sajikan di bawah ini adalah hasil dari wawancara tersebut. Di GKI Ngupasan, terdapat sebuah program yang bernama PPA IO 742.

Wednesday, October 14, 2009

Pengamatan Komunitas Iman di GKI Ngupasan

Minggu, 12 Oktober 2010 saya melakukan pengamatan tentang teori pendekatan komunitas iman di GKI Ngupasan. Di tempat ini ada sebuah komunitas yang bernama Nitaskana. Nitaskana adalah kepanjangan dari Komunitas Kapal Naga. Komunitas ini adalah semacam komunitas bersama dimana semua anggota ikut berperan aktif dalam kelompok-kelompok kecil. Apabila dihubungkan dengan teori tersebut di atas, tujuan Nitaskana membantu anggota komunitas untuk bertumbuh bersama dalam iman mereka serta membantu tiap personal untuk membentuk komunitas-komunitas baru. Tujuan yang lain adalah membentuk jiwa kepemimpinan dalam diri tiap anggota untuk membentuk kelompok-kelompok kecil baru. Dalam Nitaskana, tiap anggota boleh mengembangkan bakat dan talenta yang ada dalam dirinya. Sedikit saya uraikan kegiatan Nitaskana, sebelum memulai sharing dalam kelompok kecil, kegiatan dimulai dengan kelas besar. Dalam kelas besar ini, ada penyampaian materi pengajaran oleh Pendeta ataupun orang yang ditunjuk oleh pengurus. Setiap anggota diberi kesempatan dalam setiap pertemuan, seperti memipin pujian, meenjadi pemain musik, dan penerima tamu. Setelah mengikuti kelas besar, anggota masuk ke kelompok-kelompok kecil dengan seorang fasilitator (terkadang ada kelompok yang dibantu seorang asisten). Di kelompok kecil, anggota dimotivasi untuk men-share-kan pelajaran yang telah didapat dalam kelas besar(mungkin ada yang kurang jelas atau timbul pertanyaan kritis), pengalaman-pengalaman pribadi, pendapat atau pergumulan pribadi atas pertanyaan-pertanyaan reflektif yang terdapat dalam buku panduan, dan tugas atau proyek selama satu minggu sesuai kesepakatan bersama. Sharing ini juga memotivasi anggota kelompok agar berani meyampaikan pengalaman pribadinya kepada kelompok dan kelompok dapat memberikan respon agar dapat direkonstruksi menjadi sebuah pelajaran hidup yang berguna. Peran fasilitator sangatlah penting karena harus memfasilitasi kelompok yang dibimbingnya untuk mencoba terbuka dan mau mengerti permasalahan yang dialami oleh anggota kelompok yang lain. Naradidik atau peserta adalah jemaat mulai dari remaja hingga lansia, tentunya dengan pembagian kelompok yang sesuai. Nitaskana lebih menekankan refleksi dan aksi. Aksi disini bukan berarti aksi keluar tetapi aksi bagi pertumbuan iman pribadi atau kelompok juga persekutuan. Konteks komunitas adalah anggota jemaat dalam suatu gereja. Implikasi bagi pelayanan adalah semakin banyaknya terbentuk kelompok-kelompok kecil di GKI Ngupasan yang terus berkembang dan membentuk komunitas-komunitas baru.

Tuesday, September 15, 2009

Gemetar

Hari ini sesuatu membuatku gemetar...
Entah mengapa semua terasa begitu cepat berlalu..

Hm......sesuatu itu selalu ada di dekatku, entah di mana pun dan kapan pun..
Apakah yangharus ku lakukan?
Haruskah aku hanya terpaku, tertunduk lesu menghadapinya?

Mungkin aku harus lebih semangat lagi menghadapinya...
aku tidak boleh menyerah dan mundur lagi...


yogya,16 September 2009

di tengah kegugupan yang menyelimuti sekujur tubuhku

Wednesday, September 9, 2009

Ibadah Syukur RTB PEMASMUR

Gundul-gundul pacul..cul..gembelengan
Nyunggi-nyunggi wakul..kul.. gembelengan
Wakul ngglimpang segane dadi sak latar 2x

Itulah sepenggal lagu dolanan daerah Jawa. Lagu itu didendangkan pada fragmen yang ditampilkan pada Ibadah Syukur RTB PEMASMUR ke 1. Ibadah yang diadakan pada hari Senin, 7 September 2009 bertempat di RTB Putri untuk memperingati ulang tahun RTB ke 1. Hadir pada kesempatan ini DPP-SDM GKI SW Jawa Timur, BPMSW GKI SW Jawa Timur, perwakilan Majelis Jemaat 4 GKI di Yogyakarta (Gejayan, Gondomanan, Ngupasan, dan Wongsodirjan), dang anggota PEMASMUR. Ibadah dimulai pukul 18.30 WIB dengan prosesi membawa "jajanan" khas Jawa, celengan, dan lilin yang melambangkan budaya Jawa yang melekat dengan PEMASMUR dalam setiap aktivitas. Ibadah berlangsung dengan liturgi yang sederhana tapi mengena. Kemudian, PEMASMUR menampilkan sebuah fragmen yang berjudul "Cukup" dengan mengangkat tokoh-tokoh pewayangan Jawa, yaitu Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong yang lebih terkenal dengan sebutan Punokawan. Fragmen ini menceritakan tentang bagaimana kita harus dapat bersyukur dan merasa cukup dengan apa yang telah kita terima. Setelah fragmen, dilanjutkan khotbah yang dipimpin oleh Pdt. Timotius Wibowo. Bacaan diambil dari Filipi 4:10-13. Pak Timy (panggilan akrab Pdt. Timotius) mengajak kita untuk berefleksi tentang RTB selama 1 tahun ini. Kita harus mengucap syukur atas apa yang Tuhan berikan kepada kita, terkhusus anggota PEMASMUR di RTB selama 1 tahun ini. Banyak suka dan duka yang telah dijalani. Kita haruslah merasa cukup dengan berkat Tuhan yang ada, janganlah meminta berlebihan. Selain merasa cukup, kita juga diajak untuk mencukupkan diri dengan apa yang ada di sekitar kita.
Setelah ibadah, dilakukan serah terima mahasiswa baru kepada GKI-GKI di Yogyakarta. Ada 3 mahasiswa baru yang "dititipkan", Sdr. Daniel Bani W.E. dan Sdr. Ezra di GKI Wongsodirjan serta Sdr. Yosua Agung P. di GKI Gejayan. Acara dilanjutkan dengan ramah tamah.
Semoga dengan acara ini, kita terus diajak berefleksi tentang arti cukup itu. Tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Debora (Bu De) yang telah mendampingi dan membantu kami selama 1 tahun ini dan akan terus mendampingi kami sampai selesai.
Demikianlah liputan terkini dari PEMASMUR, sampai jumpa lagi di acara-acara berikutnya.

langit semakin kelam...
seakan ingin mengatakan sesuatu....
aku tidak tahu harus bagaimana ketika sang candra menghilang dari langit..
semua nampak suram tanpa terpaan sang candra

inikah maksud dari semua itu?
hmm....entahlah..........
jika cinta memang harus berkorban aku siap menerimanya..
cinta tak selamanya harus memiliki....
cinta tak selamanya harus berharap...
apakah yang harus ku perbuat?
waktu yang akan menunjukkannya...

yogya,09092009

di sore hari yang mendung dengan berselimutkan hawa sejuk...

Tuesday, May 12, 2009

Tugas Ringkasan Bahan Bacaan Kuliah


Pengetahuan, Persahabatan, dan Hikmat

(dalam buku “Etika Sosial Lintas Budaya” Hal 73-111, pengarang Bernard Adeney, diterbitkan di Yogyakarta tahun 2000)

Sebelum membahas ketiga hal yang tersebut dalam judul, bacaan ini memberikan pengertian tentang pengetahuan, persahabatan, dan hikmat. Pengetahuan adalah informasi kognitif yang diperlukan untuk membuat keputusan-keputusan yang baik dan bertindak dengan baik. Hikmat adalah penggabungan praksis, pengetahuan, komunikasi-dialog, dan membuat kehadiran kita sesuai dengan situasi sekitar. Persahabatan adalah kunci kepada pengetahuan, komunikasi dan hikmat dalam suatu konteks asing.

Pengetahuan tentang bagaimana bertindak dalam situasi tertentu sangat bergantung pada informasi kultural yang kita peroleh dengan tepat. Cara terbaik yang dapat kita lakukan untuk mendapatkannya adalah menjalin persahabatan dengan masyarakat setempat. Mengapa hal ini perlu dilakukan? Karena ini adalah sarana paling ampuh dan efektif untuk memperoleh pengetahuan akan budaya lain, terutama budaya yang akan kita kenal. Persahabatan juga merupakan sarana dan tujuan pengetahuan lintas budaya. Berhasil atau tdaknya kita memperoleh pengetahuan suatu budaya tertentu bergantung seberapa cepat kita memperoleh sahabat. Untuk memulai dan membangun suatu persahabatan tersebut kita harus mulai belajar aturan-atuarn yang sesuai dengan konteks budaya yang akan kita kenal. Lalu, apa yang harus kita lakukan untuk mewujudnyatakan persahabatan tersebut? Komunikasi dan dialog adalah kunci utama dalam membangun persahabatan. Kita sebagai individu harus sadar bahwa kita hidup dalam keberagaman komunitas (iman) dan mempunyai sudut pandang dalam pengetahuan yang sangat terbatas. Dialog adalah sarana pendekatan yang efisien, manfaat yang kita dapat saat kita melakukan dialog dengan budaya lain adalah memperoleh perspektif pengetahuan tentang budaya lain yang akan kita kenal. Mungkin, dalam melakukan pendekatan itu kita terkendala dengan adanya perbedaan-perbedaan nilai. Ada lima cara untuk menghadapi perbedaan-perbedaan nilai tersebut. Kelima cara tersebut adalah tidak menerima, subtitusi, menambahkan, kombinasi, dan sintesis atau integrasi.

Mengenani persahabatan, ada tawaran menarik dari Aristoteles tentang tiga tipe persahabatan. Pertama, persahabatan yang didasarkan pada sebuah pertolongan (contohnya, orang kuat menolong yang lemah). Kedua, persahabatan yang didasarkan pada hubungan timbal balik demi memperoleh suatu keuntungan tertentu. Ketiga, persahabatan yang didasarkan pada persahabatan itu sendiri, dimana pihak-pihak yang sama kedudukannya saling memberikan perhatian tanpa maksud apapun. Pertanyaannya, adakah tipe persahabatan yang ideal? Jawabnya ada, yaitu tipe persahabatan ketiga. Persahabatan itu dapat menjembatani setiap kendala apapun, membutuhkan pengorbanan yang besar, komitmen, kejujuran, dan kasih.

Hikmat adalah (mungkin) sesuatu yang abstrak bagi kita. Sebenarnya, hikmat adalah keterbukaan terhadap suatu kebenaran karena muncul dari suatu konfrontasi anatara pengetahuan dan suatu realitas yang tiodak dikenal. Diperlukan suatu keterbukaan terhadap “sesuatu yang asing”, berani menerima sesuatu yang berbeda serta berusaha mencari dan menemukan keterpaduan logis. Terpenting, pra-paham yang kita anggap benar rela ditelanjangi. Selain itu, hikmat berakar dama sebuah komitmen karena komitmen yang dimiliki berasal dari pengalaman sehari-hari. Terakhir, hikmat yang tidak diucapkan berakar pada keperdulian. Hikmat tidaklah dapat diungkapkan melalui kata yang puitis dan drmatis, harus ditunjukkan dengan hal-hal yang bersifat konkrit yaitu sikap peduli yang kita lakukan kepada sesama.

Saya ingin memberikan beberapa catatan kritis dalam membangun persahabatan. Pertama, kita juga harus melihat konteks budaya mana yang akan kita kenal. Secara umum, ketika orang asing akan memasuki budaya tertentu, pastilah sang empunya budaya tersebut merasa curiga akan kedatangan seorang yang asing. Apalagi jika orang itu baru pertama kali menginjakkan kakinya. Jika kita lihat dalam konteks Indonesia yang pluralitas ini, terutama setelah terjadi banyaknya kasus yang berbau SARA akhir-akhir ini, dibutuhkan suatu bentuk konkrit bagaimana kita membangun persahabatan dengan budaya yang (mungkin) selama ini belum atau tidak kita kenal. Kedua, harus ada kemauan dari setiap individu untuk menjalin persahabatan dengan suatu budaya yang baru. Mustahil persahabatan akan terbangun bila dari dalam diri individu sendiri tidak timbul kemauan. Kemauan adalah sebuah modal dari dalam diri individu untuk membangun sebuah persahabatan yang “kekal” dangan budaya yang baru. Janganlah asal-asalan. Ketiga, dibutuhkan suatu keterbukaan. Dalam ringkasan mungkin sudah disinggung perlunya keterbukaan dalam menjalin persahabatan. Keterbukaan sangatlah penting dalam persahabatan itu sendiri karena bila kedua pihak mau terbuka terhadap masing-masing serta saling menghargai, pastilah persahabatan itu akan terbangun dengan sendirinya tanpa harus dipaksakan. Keempat, tentang tipe persahabatan ketiga yang ditawarkan oleh Aristoteles. Meskipun sudah ada komitmen, kejujuran, kasih, dan pengorbanan, saya masih ragu apakah persahabatan akan terbangun. Bisa saja, itu semua diperlihatkan hanya di luarnya saja, di dalamnya bertentangan. Sangat berbahaya!

Pertanyaannya, apakah solusi konkrit yang bisa membangun persahabtan itu sendiri? Akankah tipe persahabatan yang diberikan oleh Aristoteles sebagai contoh bentuk persahabatan yang ideal akan terealisasi jika kita menerapkannya? Hanya kita sendiri yang dapat menjawab.

Yogyakarta, 12 Mei 2009,

Di siang hari berhawa dingin yang menusuk kulit

Tugas Individu Mata Kuliah Sosiologi Agama


Dialog Antar Agama: Kunci Persahabatan yang Mendobrak Gerbang Alienasi Agama

I. Pendahuluan

Isu adanya pertentangan antar agama merupakan lagu yang sangat lama dalam kehidupan pluralitas di Indonesia. Seringkali kita menganggapnya sebagai sesuatu yang biasa dan wajar, padahal, apabila dibiarkan berlalu begitu saja dan berlangsung terus-menerus akan menjadi sebuah “borok” yang sulit disembuhkan bagi bangsa Indonesia, yang mendaku dirinya sebagai bangsa yang bermoral dan bertoleransi tinggi. Coba kita tengok ke belakang, sejak tahun 1990-an kasus-kasus yang meng-atasnama-kan agama kerap kali terjadi di masyarakat. Bahkan, lebih parahnya, para pelaku selalu mencoba untuk meng-adu domba serta menghancurkan perdamaian yang sudah tercipta dalam masyarakat. Masyarakat dengan segala keterbatasan kemampuan akan makna pluralitas cenderung terseret dalam arus pertikaian agama. Coba kita bayangkan, apa yang terjadi jika bangsa yang majemuk ini dengan beraneka latar belakang suku, budaya dan agama saling menjatuhkan satu sama lain? Tidak dapat dipungkiri bahwa bangsa ini akan hancur dan “musnah” dari muka bumi. Pertanyaannya sekarang, apakah yang menjadi penyebab semuanaya itu?

Adanya keterasingan antar agama di Indonesia menjadi penyebab utama terjadinya pertentangan antar agama. Satu sama lain saling mengklaim dirinya paling benar. Konsepsi yang terbentuk dalam masing-masing agama bahwa di luar agama tersebut adalah asing dan menakutkan (contoh, agama A mendaku bahwa dirinya adalah paling benar, agama lain itu sesat dan membuat agama A takut untuk membuka diri). Hal ini makin membuat satu sama lain merasa terasing dan saling mengasingkan. Tidaklah mengherankan bahwa sejarah perjalanan sejarah bangsa Indonesia penuh bersimbah darah karena terjadi kekerasan dan kekejian antar umat beragama. Masih teringat dan terlihat di otak kita, tragedi Bondowoso, bom Malam Natal tahun 2000, bom Malam Idul Fitri di Masjid Istiqlal Jakarta dan masih banyak peristiwa-peristiwa yang terjadi.

Lalu, apa solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahan keterasingan agama sebagai sebuah patologi tersebut? Kelompok 10 dalam diskusinya mencoba menyuguhkan sebuah solusi penyembuhan akan patologi itu, yaitu hikmat. Namun, menurut beberapa teman solusi ini terlalu abstrak hingga muncul pertanyaan, apakah bentuk konkrit dari hikmat tersebut? Maka dari itu, di dalam paper ini saya mencoba untuk memberikan yang konkrit, dialog antar agama.

Tujuan dari penulisan paper ini adalah mencoba untuk memberikan sebuah solusi yang bersifat konkrit dan nyata mengatasi keterasingan agama dalam konteks pluralitas di Indonesia yaitu dialog antar agama, serta setiap pembaca dapat mulai membuka diri terhadap “yang asing” sehingga kerukunan hidup antar beragama dapat tercapai.

II. Isi

II.1. Pengetahuan, Persahabatan, dan Hikmat

Pak Bernard dalam artikelnya yang berjudul Pengetahuan, Persahabatan dan Hikmat dalam buku Etika Sosial Lintas Budaya mempunyai definisi-definisi tentang ketiga hal tersebut serta hubungannya. Pengetahuan adalah informasi kognitif yang diperlukan untuk dapat membuat keputusan-keputusan yang baik dan bertindak dengan baik[1]. Informasi-informasi tersebut berasal dari kehidupan sehari-hari dan lingkungan sekitar kita. Ketika kita memperoleh informasi-informasi, kita tidak boleh menerimanya dengan “mentah-mentah” tetapi harus menyeleksinya dengan baik dan benar agar bermanfaat serta tidak menimbulkan kesalahpahaman. Terkadang banyak sekali informasi-informasi (dalam hal ini informasi yang menyangkut kehidupan antar beragama) beredar di sekitar kita. Jika kita tidak pandai memilah mana informasi yang benar dan valid, kita dapat terjerumus dalam “kebutaan”, terjadi kesalahpahaman antar umat beragama. Persahabatan ternyata juga mempunyai hubungan yang erat dengan pengetahuan. Dalam menjalin persahabatan dengan pihak yang berbeda hendaknya kita mempunyai bekal pengetahuan yang cukup. Mengapa ini perlu? Karena dengan pengetahuan yang cukup kita tidak akan ragu apabila ingin menjalin persahabatan dengan pihak lain. Namun ini semua tidak akan terjadi bila kita juga tidak mau membuka komunikasi dengan pihak lain. Komunikasi yang baik akan menghubungkan kita dengan pihak lain dan menata kehidupan kita dalam relasi dengan pihak lain tersebut.[2] Terakhir, hikmat. Hikmat menggabungkan praksis, pengetahuan, dan komunikasi serta membuat kehadiran serta tindakan kita cocok dengan situasi kita.[3] Jadi, dengan kata lain hikmat merupakan sesuatu yang bersifat general yang ada dalam diri manusia. Lalu, bagaimana kita mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata? Mari kita lihat subbab-subbab berikutnya.

II.2. Keterbukaan: Modal Utama Dialog Antar Agama

Pada subbab sebelumnya sudah dijelaskan bahwa pengetahuan, persahabatan, dan hikmat mempunyai hubungan satu sama lain dan saling erat. Akan tetapi, ketiga hal tersebut tidak dapat terjadi bila tidak dilandasi dengan sikap keterbukaan. Itulah mengapa, keterbukaan menjadi modal paling utama dan penting dalam membangun adanya dialog antar agama. Mustahil sekali dialog antar agama akan terjadi bila setiap pihak yang terlibat tidak menunjukkan saling keterbukaan. Mungkin, menjadi sedikit berat jika kita disuruh terbuka dalam masalah iman karena iman merupakan masalah yang sensitive, apalagi dalam konteks kehidupan di Indonesia yang plural ini. Sikap terbuka haruslah dimulai dari diri kita sendiri sebelum kita menyuruh orang lain. Istilah yang cocok untuk menggambarkannya adalah “seek first understand to be understood”[4], mengertilah jika ingin dimengerti. Maka, terbukalah jika kita ingin orang lain terbuka kepada kita. Niscaya, keterbukaan yang kita mulai akan memperoleh respon dari orang lain dan dialog antar agama dapat terbangun dengan sendirinya tanpa perlu membentuk sebuah forum yang bersifat formal, agar kehidupan menjadi tenang dan tentram tanpa kekerasan, dan patologi alienasi tersebut sembuh dari setiap insan di bumi ini.

II.3. Dua Pendekatan

Membangun dialog antar agama tidak dapat dilakukan dengan asal-asalan tanpa pandangan dan maksud yang jelas. Dalam artikelnya yang berjudul “Dialog untuk Perdamaian”, Hery Sucipto memberikan dua pendekatan.[5] Pertama, pendekatan kultural.[6] Maksudnya, dialog antar agama tersebut berlangsung apa adanya dalam kelompok-kelompok kecil umat beragama yang berbeda ketika mengalami kehidupan bersama sehari-hari, baik suka maupun duka. Dalam hidup sehari-hari, banyak sekali peristiwa yang melibatkan beragam pemeluk agama untuk terlibat sehingga pengalaman yang diperoleh pun banyak. Mereka dapat belajar bagaimana untuk saling peduli, menghormati sesama, bertoleransi serta belajar saling menghargai satu sama lain. Andaikata kita mau dan (benar-benar) mampu melakukannya akan muncul dalam diri kita kebutuhan untuk selalu hidup rukun.

Kedua, pendekatan secara teologis.[7] Pendekatan ini ingin menjelaskan kepada kita bahwa kerukunan yang hendak dibangun bukan diatur dari luar melainkan timbul dari dalam diri tiap umat beragama serta tumbuh secara nyata melalui penghayatan iman secara individu dan melalui dinamika kehidupan yang pluralitas. Berarti, dialog antar agama yang pada hakekatnya untuk menciptakan kerukunan itu harus muncul dari dalam diri tiap individu bukan dari tuntutan luar. Jika hal itu muncul dari luar maka percuma bila kita selalu membuka forum dialog antar agama karena tiap individu akan melakukannya dengan terpaksa tanpa ada kesadaran untuk memulainya sendiri. Jadi, amatlah penting untuk memulai dialog antar agama dari diri kita sendiri. Hal-hal kecil bila dipupuk dengan baik akan membuahkan hal-hal besar yang indah dan baik.

Dua pendekatan ini sangat menarik bila kita mau menerapkannya dalam hidup beragama kita. Suatu dialog antar agama bila dilandasi kedua hal ini, kemungkinan besar akan berjalan sesuai harapan kita.

II.4. Tujuan yang Menarik

Suatu hal yang dilakukan dengan sungguh-sungguh tidak akan tercapai bila kita tidak mengerti apa tujuan sebenarnya. Demikian pula dengan dialog antar agama. Ayang Utriza NWAY dalam artikelnya yang berjudul “Natal dan Kerukunan Antaragama”[8] memberikan dua tujuan dari dialog antar agama.

Tujuan petama, dialog antar agama bukan ingin mengajak umat beragama lain masuk ke dalam agama kita melainkan mengungkapkan keyakinan yang kita imani untuk memperkaya khasanah pengetahuan umat lain tentang iman kita sehingga kesalahpahaman dan buruk sangka dapat dihindarkan sedini mungkin.[9] Benar apa yang ditulis oleh Ayang. Selama ini, jika kita perhatikan, permasalahan lintas agama yang sering terjadi di Indonesia disebabkan oleh ketakutan individu untuk mengungkapkan imannya kepada individu lain dengan alasan “takut” disangka me-religi-kan orang lain ke dalam agamanya. Bahkan, dalam forum dialog antar agama pun terkadang orang (awam) masih susah untuk mengungkapkan imannya secara terbuka di hadapan umum. Akibatnya, kesalahpahaman yang ditimbulkan permasalahan agama sering terjadi dan tidak dapat dihindarkan. Ujung-ujungnya, timbul gesekan-gesekan baik secara fisik maupun secara ideologik.

Tujuan kedua, dialog antar agama diadakan bukanlah untuk mencari pandangan ideal yang satu melinkan mencari simpul-simpul ajaran universal yang harus diperjuangkan bersama.[10] Seringkali dialog antar agama dijadikan ajang “mengunggulkan” suatu pandangan tertentu dengan segala upaya. Percuma tak berguna jadinya. Masih banyak hal-hal penting dan mendasar yang dapat dibicarakan bersama, seperti masalah kemanusiaan misalnya. Kemanusiaan adalah masalah besar dan perlu perjuangan bersama untuk mengatasinya. Tiap individu tidak dapat berjalan sendiri, harus ada usaha bersama. Inilah jalan terbaik untuk menghindari adanya alienasi. Dialog antar agama yang tidak melulu berbicara tentang iman akan memudahkan hubungan antar individu untuk duduk bersama dan membahas permasalahan yang menjadi simpul-simpul universal.

III. Penutup

Kesimpulan yang saya dapat dari pembahasan ini adalah bahwa diperlukan suatu keterbukaan dalam menciptakan dialog antar agama. Tanpa adanya keterbukaan dari masing-masing pihak dialog tersebut tidak akan tercipta, dan bila diadakan pun akan diikuti dengan terpaksa. Selain itu, diperlukan pendekatan-pendekatan agar dialog antar agama tidak menimbulkan suatu kecurigaan sehingga tujuan-tujuan yang hendak dicapai akan terarah dan jelas. Maka dialog antar agama menjadi sarana yang efektif dan ampuh untuk mengatasi adanya alienasi. Jika kita mau mengusahakannya dengan sungguh-sungguh dan tidak terpaksa, alienasi yang selama ini terbentuk dan menjadi “darah daging” dengan sendirinya akan hilang dan sirna. Gerbang alienasi yang kokoh itu akan runtuh oleh dobrakan dialog antar agama. Bagaimana dengan kita? Akankah kita mau mengusahakannya demi terciptanya suatu kehidupan yang rukun, damai dan tentram? Inilah tantangan bagi kita dan hanya kita sendiri yang mampu menjawabnya.

Daftar Pustaka

- Adeney, Bernard. 2000. Pengetahuan, Persahabatan, dan Hikmat dalam Etika Sosial

Lintas Budaya. Yogyakarta. (terdapat dalam Reader Sosiologi Agama)

- Djajasiswaja, Alexander Mgr. Pr.,dkk. 2006. Damai untuk Perdamaian (ed).

Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.


[1] Bernard Adeney, Pengetahuan, Persahabatan, dan Hikmat dalam Etika Sosial Lintas Budaya.(Yogyakarta,2000), hal 73

[2] Bernard Adeney, Pengetahuan, hal 73

[3] Bernard Adeney, Pengetahuan, hal 73

[4] Meminjam istilah dari buku 7th Habbit

[5],Damai untuk Perdamaian,(Jakarta,Desember 2006), hal 12-13

[6]Djajasiswaja, Alexander Mgr. Pr.,dkk,Damai untuk Perdamaian , hal 13

[7]Djajasiswaja, Alexander Mgr. Pr.,dkk,Damai untuk Perdamaian, hal 13

[8]Djajasiswaja, Alexander Mgr. Pr.,dkk,Damai untuk Perdamaian, hal 39-42

[9]Djajasiswaja, Alexander Mgr. Pr.,dkk,Damai untuk Perdamaian, hal 41

[10]Djajasiswaja, Alexander Mgr. Pr.,dkk,Damai untuk Perdamaian, hal 41

Tuesday, May 5, 2009

Oral and Post Test



Puji Tuhan, akhirnya oral dan post test sudah selesai. Aku sangat bersyukur karena keduanya dapat aku lalui dengan baik meskipun dengan sedikit kekhawatiran.
Diawali dengan post test yang dimulai kemarin, Selasa, 5 Mei 2009, pukul 10.30 WIb. Awalnya, aku tidak tahu kalau ruang testnya pindah tapi ketika menuju ruang test di INQA, di pintu tertempel pengumuman bahwa ruang test pindah ke ruang PHKI di lantai 4. Langsung aku sms ke teman2 satu grup. Setelah bertemu, kami berenam segera menuju ke lantai 4. Sesampainya di sana, ruangan masih sepi, kami kira dosennya belum ada. Ketika waktu menunjukkan pukul 10.35, aku segera mencari sang dosen. Akhirnya ketemu dan aku tanya kapan mulainya. Sang dosen mengatakan kalau sudah kumpul semua langsung mulai aja. Kebetulan kami sudah hadir semua dan test langsung dimulai. Aku mendapat urutan terakhir, jadilah aku menunggu giliran. Untuk menghabiskan waktu luang, aku bermain gitar. Ternyata menunggu itu lama juga dan membosankan (mungkin juga karena dag-dig-dug nggak karuan). Tiba juga giliranku, dengan langkah mantap aku masuk ke ruang PHKI, lalu duduk di hadapan dosen. Pertanyaan2 yang diajukan aku jawab satu per satu dengan sedikit grogi dan bahasa Inggris yang pas2an. Selesai test, aku langsung keluar dan sedikit merasa lega.
Hari ini, aku menjalani post test dan harus lulus sebagai syarat yudisium. Hm..., ternyata soalnya lumayan sulit dan aku merasa sedikit tegang hingga tengkuk leherku sedikit sakit. Padahal sebelumnya aku sudah mencoba untuk sedikit santai tapi tetap aja rasa grogi mengerogoti diriku. Akhirnya, aku berusaha tenang ketika memasuki kelas. Setelah berdoa, aku kerjakan semua soal semampuku dan waktu test yang diberikan cukup. Aku merasa lega bisa melalui post test ini meskipun soal2nya lumayan sulit. Hm..., terpenting aku mengerjakan sendiri tanpa mencontek.
Terimakasih Tuhan untuk semua kekuatan dan penyertaan dariMu. Aku sadar bahwa aku tidak dapat menjalani kedua test dengan kekuatanku sendiri. Oke..!! Tets2 yang lain masih menunggu...


Yogyakarta, 6 Mei 2009
di tengah cuaca mendung dan suara petir yang bergemuruh...

Monday, April 27, 2009

Progress Tets TOEFL Lolos...

Puji Tuhan..., aku lulus progress test yang terakhir dan skorku juga stabil, 580. Padahal sebelum test, aku sempat bingung, ngantuk dan campur aduk pokoknya! Aku juga lupa bawa penghapus, jadinya klop sudah kebingunganku. Sempat berpikir pinjam sebelahku tapi takut ketahuan pengawas dan nanti lembar kerjaku diambil. Ehm..akhirnya aku jalani juga test TOEFL dengan sangat hati2 supaya tidak terjadi kesalahan. Waktu berjalan terasa cepat dan tidak terasa. Aku sempat dag-dig-dug, takut kalau lembar kerja tidak terisi semua. Sekali lagi, Puji Tuhan, 5 menit sebelum waktu berakhir, aku sudah selesai.
Aku sangat bersyukur sekali atas test ini. Mengapa?? Karena ketika aku berserah dan menuruti semua perintahNya, aku mendapat sesuatu yang indah. Contohnya, meskipun aku tidak membawa penghapus, aku tidak mencoba untuk meminjam. Andaikata aku meminjam dan ketahuan, apalah jadinya. Thanks God for all...

Tuesday, April 21, 2009

REM QUIZ 2: We must Both Do It


Quiz kelas Remidiasi Bahasa Inggris 6 kali ini sedikit berbeda. Mrs. Cisca, dosen kami, membuat tes kali berbeda dari biasanya. Kalau biasanya kami biasa mengerjakan soal tertulis, hari ini kami memperoleh sebuah potongan artikel kecil, harus dbaca dan dipahami dalam waktu 10 menit, lalu dipresentasikan di depan kelas dengan menghubungkannya pada pengalaman masing-masing. Kami semua sempat berekspresi riang karena sedikit agak mudah. Quiz dimulai, Mrs. Cisca membagikan potongan2 artikel tersebut, kami mulai membaca dengan hati-hati dan seksama sambil mencari kata-kata yang sulit dalam kamus (boleh bawa kamus lho..., makasih Mom). Waktu berlalu dan Mrs. Cisca segera memberi tanda waktu habis. Artikel2 tadi diminta kembali. Satu per satu dari kami dipanggil untuk mempresentasikannya sesuai no.urut absen. Kebetulan aku dapat urutan agak terakhir. Waktu tiba giliranku, aku segera maju dan menerima artikelku kembali.
Artikel yang aku dapatkan bercerita tentang Bob Dobfel, yang telah memotivasi jutaan orang untuk menyumbangkan dananya guna menolong orang2 penderita kelaparan di Afrika. Dia adalah seorang pop star yang sedang naik daun. Anehnya ia mau bertemu dengan Mother Teressa, seorang wanita kecil tua renta, yang mau mengabdikan dirinya demi memberikan sebuah kenyamanan di daerah kumuh Calcutta, India. Menurut artikel tersebut, terlihat perbedaan yang contrast, dimana seorang pop star macam Bob Dobfel mau mengunjungi Mother Teressa yang kondisinya seperti itu. Namun, yang menarik, Bob mau mengakui bahwa setiap mereka mempunyai "kebesaran" masing-masing. Bahkan Bob menjuluki Mother Teressa sebagai "raksasa kecil" dan selalu mengulangi kata-katanya, " I can do things you can't do it. You can do things can't i can do it. But we must both do it". ASangat menarik sekali. Jika dihubungkan dengan pengalamanku dulu, sewaktu aku menjabat sebagai BPH Pengurus OSIS ketika kelas XI SMA, BPH kami sempat "pecah" selama bebeberapa bulan karena adanya ketidaksepahaman. Kami lakukan itu terus menerus sampai ada suatu program yang mengharuskan kami terlibat bersama, karena jika tidak, OSIS kami akan bubar. Kami pun melakukannya meskipun awalnya dengan sedikti terpaksa. Setelah dievaluasi, kami menjadi sadar bahwa kami harus bekerja bersama-sama. Tidak ada yang paling menonjol, semua sama. Kemudian, kami kembali menjadi tim dan bekerja bersama lagi dengan kesadaran yang baru.
Bagaiamana dengan anda? Cobalah untuk bersinergi dengan rekan anda. Dalam kehidupan, ada beberapa hal yang harus dikerjakan secara bersama, tidak bisa sendiri-sendiri. Oke..!! Ingatlah, "...we must both do it!".
aku pun lega dapat mempresentasikan materi ini dengan cukup baik. Semoga aku dan pembaca dapat berefleksi bersama. Selamat bersinergi, Tuhan memberkati... :)

Monday, April 20, 2009

Practice Test



Hari ini aku bersyukur sekali karena dapat melalui practice test TOEFL ke 4. Sebelum masuk kelas, aku sempat ogah-ogahan, malas rasanya untuk kuliah. Ingin rasanya cepet2 pulang dan tidur. Lalu, aku mencoba menghilangkan rasa malasku dengan mendengarkan musik dari Motorola W230-ku (nggak bermaksud promosi lho...,hehehe). Kebetulan musik yang aku putar "Indah BersamaMu" yang dinyanyiin Cornelia. Saat mendengarkan lagu itu, semangatku kembali timbul dan aku merasa seperti ada motivasi dalam diriku. Beberapa waktu kemudian, Mrs. Mega, dosenku, datang dan menghampiriku buat minta tolong membuka pintu. Segera aku lepas headsetku dan membuka pintu kelas. Udara Ac yang sejuk menerpa wajahku dan membuatku tambah segar. Setelah meletakkan tas kunci, aku segera mengambil tas dan masuk kelas seraya mencari tempat. Aku pilih tempat yang selama ini belum pernah aku tempati waktu menjalani test. Ku pilih kursi pojok depan dekat pintu. Setelah duduk dan menerima lembar jawaban serta lember soal, aku mencoba untuk rileks dan tenang sambil menunggu teman2 yang masih pergi ke kamar mandi. Setelah kelas lengkap, Mrs. Mega memberi tanda mulai. Aku berdoa dulu sebelum mengerjakan soal (walaupun hanya practice, tapi penting lho...). Waktu berlalu dan aku mengerjakan soal demi soal, aku kerjakan yang mudah dulu baru yang sulit. Waktu mengerjakan pun habis. Lembar jawaban dikumpulkan dan ditukar lalu dikoreksi. Aku sempat dag-dig-dug dan khawatir tidak dapat memenuhi target skor minimal. Semua berubah seketika saat Mrs. Mega memberutahu skorku. Puji Tuhan, skorku 580 yang berarti jumlah betul 29 dari 50 soal. Aku lega dapat melampauinya walau awlnya sempat dag-dig-dug.

Aku berefleksi bahwa segala sesuatu yang dikerjakan bersama Tuhan pasti akan memberikan hasil yang memuaskan. Entah, bagaimana cara Tuhan melakukannya. Kita harus percaya akan hal itu. Awalilah setiap pekerjaan kita dengan doa, niscaya Tuhan akan menyertai.

JBu all....

Friday, April 17, 2009

Gereja dan Politik

KELOMPOK 3

Catatan Tanggapan : Gereja dan Politik

Anggota : - Resi Pramudita (01082168)

- Keshia Hestikahayu S. (01082173)

- Christian Hutabarat (01082187)

- Virgo Tri Septo A. (01082201)

Kelompok kami menyoroti salah satu artikel yang menjadi bahan bacaan kita yaitu “Membangun Teologi Politis di Indonesia: Dari Teologi Sukses ke Politik Pelayanan dan Doksologi” dan “Membangun Kembali Sebuah Budaya Politik Indonesia”.

Dalam artikel kelompok kami menyoroti tentang sub-bab Membangun Sebuah Budaya Politik Demokratis. Budaya politik yang demokratis itu menuntut adanya budaya politik yang beradab, dewasa dan demokratis. Ada beberapa hal yang kami soroti yang sesuai dan harus terus dikembangkan dalam kondisi di negara kita untuk mewujudkan keadaan yang demikian, yaitu:

- Keterbukaan, keterbukaan sangatlah penting dan merupakan syarat utama dalam alam hidup demokratis. Keterbukaan yang dimaksud adalah dalam menyampaikan kritik atau pendapat. Karena melalui kritik segala sesuatunya dapat dievaluasi apakah benar atau salah.

- Bertanggungjawab, bertanggungjawab terutama ditekankan pada para pemimpin pemerintahan. Namun, tidak hanya para pemimpin saja. Rakyat pun harus mempunyai sikap bertanggungjawab. Dengan adanya sikap bertanggungjawab, apa yang telah “dimandatkan” akan benar-benar terlaksana dengan baik dan dapat dilihat hasilnya.

- Kepentingan umum, selama ini pemerintahan kita cenderung diwarnai dengan KKN. Para pejabat bekerja bukan untuk kepentingan umum, melainkan untuk kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan. Hal ini tidaklah benar. Perlu dibangun sikap atau mentalitas tidak mengutamakan kepentingan pribadi. Kepentingan umum haruslah ditempatkan diatas segalanya.

Penjabaran diatas adalah sebuah nilai atau keadaan yang ideal, yang “seharusnya” terkandung dalam politik di Indonesia, namun kelompok juga akan menyoroti sebuah cara berpolitik ideal dan seharusnya dapat menujukkan peran serta gereja untuk mewujudkan budaya politik yang ideal menurut Pak Paulus pada artikelnya. Berawal dari pemahaman dari sebuah teologi sukses yang dikemukan oleh Pak Paulus, kelompok juga membenarkan akan pemahaman yang berkembang ditengah orang-orang kristen sekarang ini maka diperlukan sebuah pensosialisasian akan sebuah pemahaman yang lebih baik.

Ada dua jenis politik yang menjadi sebuah “politik alternatif” yang menurut pak Paulus seharusnya ditawarkan gereja yaitu:

- Politik Pelayanan

Dimana dalam politik ini lebih menekankan tentang bagaimana seseorang yang memiliki kekuasaan seharusnya menjadi pelayan. Melalui pemahaman politik ini seseorang harus menempatkan diri secara benar untuk mewujudkan kepentingan umum dan memiliki persfektif yang benar sehingga ia dapat mengerti bagaimana seharusnya berpolitik.

- Polotik Doksologi

Dimana politik yang dilakukan semua berlandaskan dan berakar pada kepercayaan kita akan Yesus Kristus. Pemahaman ini juga akan membawa seseorang untuk mengerti bagaimana memiliki orientasi secara benar dalam berpolitik dan yang paling penting adalah bagaimana ia melakukan segala sesuatunya berdasarkan keinginan untuk memuliakan Tuhan.

Selain itu dalam artikelnya Pak Paulus membuat suatu “penyadaran religius” akan apa arti sebenarnya kekuasaan itu seharusnya,yang berjalan bukan dalam rangka untuk menguasai dan memakai embel-embel “jumlah orang kristen yang ikut berpolitik langsung” tanpa mementingkan sebenarnya kualitas dari hal-hal yang sebenarnya kita lakukan.

Kelompok sangat setuju dengan ke dua pandangan diatas (pandangan dari Pak Franz M.S dan Pak Paulus) karena ke dua pandangan tersebut mengajak kita untuk lebih melihat dan mencari sebenarnya apa dasar yang terutama dalam berpolitik,dengan tujuan bukan hanya untuk menguasai dengan membabi buta tapi menguasai untuk “melayani”, melalui pandangan dan kesadaran seperti ini sekiranya akan terbangun politik yang sehat dan memiliki tujuan yang benar dalam berpolitik, hal ini juga dapat menunjukkan akan peran penting gereja untuk mengambil bagian dalam mewujudkan Budaya Politik yang ideal di Indonesia sekarang ini.


Pengamatan Independen PEMILU 2009 di TPS 52 Banguntapan, Bantul, Yogyakarta








I. PENDAHULUAN

I.1. Alamat pengamat : Asrama UKDW, Jl. Seturan CT XX RT 07/RW 02,

Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.

I.2. Alamat TPS : TPA Al Muthi’in, Jl. Cinderawasih RT 14/RW 27 Desa Banguntapan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta.

I.3. Durasi Pengamatan : 08.30 WIB – 14.30 WIB (enam jam)

II. ISI

II.1. Proses PEMILU

PEMILU yang diadakan tiap 5 tahun sekali merupakan “pesta demokrasi” bagi rakyat karena pada momen ini rakyat melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai warga negara untuk memberikan suaranya dalam rangka memilih wakil-wakil legislatif yang akan mewakilinya di DPR (baik pusat, propinsi maupun kabupaten/kotamadya) sebagai penyalur aspirasi. Secara umum, PEMILU di TPS 52 ini berjalan dengan tertib dan aman. Tidak ada kejadian-kejadian yang membuat situasi kacau. Penduduk berbondong-bondong mendatangi TPS dan mereka silih berganti memberikan suaranya. TPS buka pukul 07.00 WIB sesuai instruksi dari KPU. Namun, di jam-jam tertentu TPS terkadang terlihat sepi. Hal ini terjadi sekitar pukul 09.15 WIB. Mungkin penduduk masih melakukan berbagai aktifitasnya. Beberapa waktu kemudian, TPS kembali ramai oleh penduduk yang akan menggunakan hak pilihnya. Proses PEMILU yang saya amati di TPS 52 ini mungkin tidak berbeda dengan TPS-TPS yang lain. Proses pemberian suara sebagai berikut: pemilih datang ke TPS lalu menyerahkan surat undangan kepada petugas pendaftaran. Setelah diperiksa dan dicocokkan dengan DPT (Daftar Pemilih Tetap), pemilih menuju tempat tunggu menunggu giliran. Ada dua orang penduduk yang termasuk DPT tidak mendapat surat undangan, penduduk tersebut menunjukkan KTP-nya sebagai pengganti surat undangan. Kemudian namanya dipanggil, pemilih menuju panitia KPPS (Komisi Penyelenggara Pemungutan Suara) untuk mengambil surat suara yang terdiri atas surat suara DPRD Kabupaten, DPRD Propinpsi, DPR Pusat dan DPD. Pemilih antri menuju bilik suara. Setelah dipersilahkan petugas, pemilih menuju bilik suara untuk menyontreng. Selesai menyontreng, pemilih memasukkan surat suaranya ke kotak sesuai jenis surat suaranya. Lalu, pemilih menuju pintu keluar dan mencelupkan jari manisnya (kanan atau kiri) ke dalam botol tinta yang disediakan sebagai tanda bahwa pemilih tersebut sudah memberikan hak suaranya. Sampai TPS ditutup pada pukul 12.00 WIB, jumlah penduduk yang telah menyontreng sekitar 70% dari jumlah pemilih yang terdaftar dalam DPT. Beberapa saksi dari parpol peserta PEMILU hadir untuk menjadi saksi dalam pelaksanaan PEMILU mulai dari awal sampai dengan saat penghitungan suara..

Proses penghitungan suara dimulai pukul 13.30, mundur setengah jam dari waktu yang telah ditetapkan. Sebelum surat suara dikeluarkan dari kotak suara, para saksi dari parpol dikumpulkan untuk diberi pengarahan tata cara penghitungan suara oleh panitia KPPS. Setelah pengarahan, surat suara dikeluarkan dari kotak dan dihitung kembali serta disesuaikan jumlahnya dangan jumlah pemilih yang hadir. Setelah cocok, penghitungan suara dimulai. Surat suara dibuka dan diperlihatkan kepada semua yang hadir, baik kepada saksi maupun penduduk yang ikut. Setelah diperlihatkan, panitia mengamati surat suara tersebut untuk mencari parpol dan caleg mana yang dipilih. Kemudian, hasilnya diturus pada lembar hasil suara. Jika terdapat tanda yang tidak tepat atau sesuatu yang tidak sesuai dengan buku petunjuk PEMILU sehingga membuat pantia bingung, maka panitia akan meminta pendapat para saksi apakah surat suara tersebut sah atau tidak. Terdapat hal yang cukup menarik terjadi di TPS 52 saat dilangsungkan penghitungan suara. Salah seorang saksi dari partai politik selalu berusaha untuk mempertahankan pendapatnya ketika mengetahui ada surat suara yang cacat dan menyangkut partai politiknya. Namun, karena hanya dia sendiri yang bersikap seperti itu maka dia kalah oleh keputusan suara terbanyak.

II.2. Sikap dan Perilaku Aparat dalam Pelayanan Publik

Di TPS 52 ini terdapat tujuh panitia dan dua petugas keamanan dari LINMAS (Perlindungan Masyarakat) serta dua petugas dari kepolisian. Sikap dan perilaku yang ditunjukkan aparat (dalam hal ini panitia KPPS) sudah cukup baik. Demikian pula sikap petugas keamanan, baik dari LINMAS maupun dari kepolisian. Hal ini dibuktikan dengan sikap aparat yang ramah dalam memberikan pelayanan. Mereka memberikan senyum dan menyapa pemilih yang akan menggunakan hak pilihnya. Tidak hanya itu, mereka juga tanggap dalam menjalankan tugas, ketika ada pemilih yang bingung harus memasukkan suara ke kotak yang sesuai, panitia segera menghampiri dan mengarahkan pemilih. Panitia juga memandu pemilih dalam memberikan suaranya terutama pemilih yang tergolong dalam usia lanjut. Para panitia tersebut memberikan petunjuk yang jelas dan sabar melayani pemilih. Namun, ada juga beberapa sikap yang kurang patut dicontoh yang ditunjukkan panitia. Tanda pengenal yang digunakan oleh petugas kurang dilengkapi foto padahal terdapat kolom foto. Dalam penghitungan suara hampir terdapat miss-komunikasi antar panitia. Hal tersebut terjadi lantaran ada beberapa petugas yang belum memahami petunjuk teknis yang diberikan oleh KPU dan sepertinya belum ada kesepakatan antar panitia dalam pembagian tugas. Petugas dari kepolisian yang diperbantukan di TPS 52 ini terlihat mondar-mandir karena mereka tidak hanya jaga pada satu TPS saja, melainkan tiga TPS.

II.3. Partisipasi Warga dalam PEMILU 2009

Warga masyarakat yang termasuk dalam DPT di TPS 52 ini menunjukkan keantusiasannya dalam PEMILU 2009. Sejak pagi hari, warga sudah berbondong-bondong mendatangi TPS. Warga silih berganti datangnya, ada yang bersama dengan keluarganya, ada yang sendiri atau bersama temannya. Bahkan, warga yang sudah berusia lanjut pun tetap bersemangat dalam mengikuti PEMILU untuk menjalankan hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Data yang saya peroleh dari panitia, jumlah pemilih yang memberikan suaranya adalah 238 orang dari 306 pemilih yang termasuk dalam DPT (sebenarnya, ketika saya mengklarifikasi kembali kepada panitia, data pemilih yang tertulis dalam lembar DPT dari KPU sampai H-1 PEMILU adalah 439 orang, tetapi setelah dilakukan kroscek ulang, data yang valid adalah 306 orang. 133 orang ada yang meninggal, pindah domisili, tidak jelas keberadannya, dan lain-lain). Jika dipresentase, jumlah pemilih yang hadir adalah 77,78%, 22,22% tidak hadir. Ketika saya mencoba bertanya kepada panitia, mungkin mereka punya kepentingan lain. Dari persentase ini menunjukkan bahwa warga mempunyai kesadaran yang tinggi akan pentingnya PEMILU. Namun, kesadaran yang tinggi tersebut tidak dibarengi dengan pengetahuan penduduk akan tata cara memberikan suara dan pengenalan caleg dari tiap parpol. Warga banyak yang tidak mengetahui caleg-caleg yang mencalonkan diri dalam PEMILU Legislatif ini sehingga membuat mereka bingung harus memilih yang mana. Lantaran, jumlah partai politik peserta PEMILU 2009 adalah 44 partai dengan caleg lebih dari satu pada tiap partai. Dalam tata cara memberikan suara, beberapa warga bersikap asal-asalan dalam menyontreng. Saya melihat sendiri saat penghitungan suara terdapat surat suara yang dicontreng hampir separuh kertasnya. Hal lainnya, ukuran kertas yang sangat besar membuat pemilih bingung cara melipat kembali kertasnya.

II.4. PEMILU: Mendorong Terwujudnya Kehidupan yang Demokratis

Sebelum saya memberikan alasan mengapa PEMILU mendorong terwujudnya kehidupan yang demokratis, terlebih dahulu mari kita lihat pengertian dan hakekat demokratis. Istilah ini pasti sudah tidak asing lagi di telinga kita. Kata demokratis berasal dari istilah Yunani yang muncul sekitar tahun 500 SM, demokratia, terdiri dari dua kata demos (rakyat) dan krattein (pemerintahan). Jadi pengertian dari kata demokratis itu sendiri adalah sistem pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Jadi dalam sistem demokratis, rakyat mempunyai kedaulatan yang sangat tinggi dalam pemerintahan, segala kebijaksanaan yang dibuat oleh penguasa (pemerintah) haruslah sesuai dengan kehendak rakyat, serta mampu menyuarakan aspirasi dan nurani rakyatnya. Namun, demokrasi tidak hanya sekedar kedaulatan rakyat melainkan juga operasionalisasinya, dengan kata lain perlu adanya kontrol dari masyarakat terhadap pemerintahan. Rakyat mempunyai hak untuk menentukan siapa saja pemimpinnya. Cara yang paling tepat dan efektif adalah melalui PEMILU.

Menurut Arief Budiman dalam bukunya Teori Negara: Negara, Kekuasaan dan Ideologi, disebutkan bahwa kekuasaan negara harus dikembalikan kepada rakyat dari waktu ke waktu melalui pemilihan umum secara berkala. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya penumpukan kekuasaan pada seorang pemimpin untuk jangka waktu yang lama. Tidak bisa kita pungkiri, dalam era Orde Baru, PEMILU memang diadakan sebagai bukti sistem kehidupan yang demokratis tetapi kepemimpinan negara hanya berpusat pada satu orang saja, ini tidaklah sejalan dengan cita-cita demokrasi. PEMILU juga akan menciptakan sebuah accountable antara negara dengan rakyatnya, negara (pemerintah) haruslah menjalankan roda pemerintahan sesuai dengan kehendak dan kepercayaan yang telah diberikan oleh rakyat, dan rakyat pun harus mendukung setiap kebijaksanaan yang dibuat oleh pemerintah, tentunya dibarengi dengan daya pikir dan sikap kritis.

John Locke dan Montesquieu dengan teori yang dimilikinya (John Locke dengan teori Pemisahan Kekuasaan Negara-nya dan Montesquieu dengan Trias Politica-nya) mengatakan perlu adanya pemisahan kekuasaan dalam suatu negara, yaitu legislatif, yudikatif dan eksekutif. Sepertinya, kedua tokoh ini senada dengan Arief Budiman. Menurut mereka, pemisahan kekuasaan negara ini bertujuan untuk menghindari ke-otoriter-an pemimpin. Cara yang tepat untuk mewujudkannya adalah dengan mengadakan PEMILU.

Apabila kita membaca uraian di atas, jelas bahwa PEMILU akan mendorong terwujudnya kehidupan yang demokratis. PEMILU mempunyai prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Maksudnya, penyelenggaraan PEMILU haruslah langsung tanpa diwakilkan kepada pihak lain, umum dimana diikuti oleh seluruh warga negara, bebas tanpa ada tekanan dari pihak manapun, rahasia tanpa adanya intimidasi oleh siapapun dan sesuai dengan nurani rakyat sebagai pemilih, jujur dan adil dalam hal penyampaian hasil suara yang diperoleh, karena PEMILU diadakan bertujuan memilih wakil-wakil rakyat yang duduk dalam kursi pemerintahan (baik legislatif maupun eksekutif), untuk menjalankan kekuasaan sesuai dengan apa yang diamanatkan rakyat. Selain itu, juga terjadi keterbukaan demokratis dimana bermunculan partai-partai politik yang memnjadi wadah rakyat dalam menyalurkan aspirasinya di dalam PEMILU. Kita dapat melihat, dalam PEMILU tahun 2009 ada 44 partai politik sebagai peserta. Itu merupakan bukti bahwa iklim kehidupan demokratis di Indonesia sudah terbuka dan pemerintah tidak lagi membatasi penyaluran pikiran-pikiran dan aspirasi rakyat (seperti yang pernah terjadi dalam era Orde Baru) sesuai yang tercantum pada UUD 1945 pasal 28. Jadi dengan diadakannya PEMILU, kehidupan demokratis akan terwujud dengan sendirinya. Mengapa? Karena masing-masing rakyat menggunakan hak dan kewajibannya sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Lalu, apakah PEMILU yang saya amati ini sudah demokratis? Menurut pengamatan saya dan apabila dihubungkan dengan semua teori yang saya dapat selama ini, pelaksanaan PEMILU di TPS 52 sudah berjalan demokratis. Rakyat dengan kesadaran yang tinggi sudah menjalankan hak dan kewajibannya. Mereka datang ke TPS untuk memberikan hak suaranya secara langsung, rahasia dan bebas tanpa paksaan. Panitia juga sudah menjalankan tugas sesuai petunjuk yang diberikan oleh KPU dengan baik meskipun masih ada beberapa kesalahan kecil. Tidak ada sikap-sikap yang menunjukkan kecurangan yang dilakukan oleh partai politik peserta PEMILU. Suasana juga kondusif, tidak ada intimidasi kepada rakyat oleh pihak manapun. Semua pihak (baik rakyat sebagai pemilih, panitia dan saksi dari partai politik) sudah melaksanakan prinsip PEMILU, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Rakyat dengan leluasa bisa menyontreng dan terjamin kerahasiaanya. Dapat dikatakan, PEMILU di TPS ini bisa dikatakan berjalan dengan sukses dan sudah demokratis. Dalam penghitungan suara sikap demokratis sudah ditunjukkan oleh masing-masing pihak yang mengikutinya. Apabila ada surat suara yang cacat, panitia meminta pendapat para saksi untuk mensahkan atau menggugurkan surat suara tersebut dengan mengambil keputusan suara terbanyak. Para saksi terlihat menerima setiap keputusan yang diambil dengan lapang dada meskipun ada yang berusaha untuk tetap mempertahankan pendapatnya.

III. Kritik dan Saran

Sebagai sebuah negara dengan sistem pemerintahan yang demokratis, pemerintah pastilah mau menerima kritik dan saran dari rakyatnya. Sebagai rakyat yang ikut mengamati jalannya PEMILU 2009 ini, ada beberapa kritik yang ingin saya sampaikan:

1. Data pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) tidak valid.

Hal ini saya temukan ketika saya membaca data pemilih dalam lembar DPT yang ditempelkan pada papan pengumuman tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Ketika saya mencoba mengkonfirmasikan hal tersebut kepada panitia ternyata memang benar data tersebut tidak sesuai. Banyak nama-nama yang tercantum dalam DPT tersebut sudah meninggal, pindah domisili, tidak jelas keberadannya, dan lain-lain. Semestinya, KPU selalu memperbarui datanya agar tidak terjadi hal seperti ini karena waktu yag dimiliki oleh KPU sangat panjang yaitu lima tahun. Mungkin saja terjadi pemilih ganda sehingga data menjadi tidak valid.

2. Jumlah Partai Politik yang terlalu banyak dan ukuran kertas yang terlalu besar

Kita semua mengetahui bahwa jumlah partai politik peserta PEMILU 2009 ini adalah 44 partai. Menurut saya, jumlah ini tidaklah efisien dan membuat bingung rakyat sebagai pemilih, apalagi pemilih pemula (baca:pelajar SMA yang baru pertama kali menggunakan hak pilihnya). Hal tersebut juga berpengaruh pada ukuran kertas suara yang sangat besar sehingga membuat petugas dan pemilih bingung dalam melipatnya.

Tidaklah baik jika saya hanya mengkritik saja, setidaknya saya juga harus membantu dengan memberikan saran sebagai alternatif solusi. Saran saya sebagai berikut:

1. KPU memperbarui data pemilih tiap 1-2 tahun sekali.

Hal ini dapat dilakukan oleh KPU bekerjasama dengan Badan Pusat Statisktik (BPS). Langkah ini pernah dilakukan oleh BPS dan KPU sebelum pelaksanaan PEMILU tahun 2004 dan terbukti efektif, data yang diperoleh valid dan sesuai dengan kondisi di lapangan. Mungkin, KPU dapat segera melakukannya untuk PEMILU Presiden dan Wakil presiden agar tidak terjadi pemilih dengan status ganda dan data di DPT sesuai dengan kenyataan di lapangan.

2. KPU sebaiknya menerapkan seleksi yang ketat terhadap partai politik peserta PEMILU.

Jika kita perhatikan jumlah partai politik peserta PEMILU 2009 sangatlah banyak. Saran saya, sebaiknya KPU menyeleksi partai-partai yang benar-benar memenuhi syarat yang ditetapkan oleh KPU. KPU dapat juga membuat syarat tambahan yang benar-benar selektif sehingga jumlah partai lebih sedikit dan efisien. Kertas suara yang dipakai juga lebih hemat dan tidak membuat pemilih bingung.

Demikianlah yang dapat saya paparkan dalam paper laporan pengamatan PEMILU 2009 ini. Saya mempunyai sebuah harapan, melalui PEMILU 2009 kehidupan berdemokrasi di Indonesia menjadi lebih baik dan kesejahteraan rakyat semakin meningkat, birokrat-birokrat pemerintahan yang terpilih benar-benar mengutamakan aspirasi dan kepentingan rakyat serta kehidupan ekonomi semakin mengarah pada arah yang lebih baik. Seperti yang dikatakan group band Cokelat, 5 menit dalam bilik suara untuk 5 tahun yang lebih baik



Referensi

- Budiman, Arief.1997.Teori Negara: Negara, Kekuasaan dan Ideologi.Jakarta:

PT. Gramedia Pustaka Utama.

- Magnis Suseno SJ, Franz.1997.Mencari Sosok Demokrasi: Sebuah Telaah Filosofi.Jakarta:

PT. Gramedia Pustaka Utama.

- Patrianti, Krisni Noor,dkk.2004.Pendidikan Kewarganegaraan untuk

Mahasiswa.Yogyakarta: Duta Wacana University Press.