Pages

Sunday, January 16, 2011

Taize: Kasih dan Kepedulian Kepada Sesama

I.     Remaja: Sosok Pribadi yang Terus Mencari
Remaja sebagai sosok yang terus bertumbuh dan berkembang seringkali mengalami permasalahan dalam hal identitas dan jati diri. Hal ini pulalah yang menyebabkan remaja selalu mengalami krisis yang berakibat mereka selalu mencari terus jati dirinya dan terkadang menemukannya pada “pihak yang salah”. “Pihak yang salah” salah satunya adalah komunitas sebaya. Hubungan dengan teman menjadi salah satu hal paling pokok bagi kehidupan remaja. Mereka seakan-akan lebih percaya pada teman daripada kepada keluarga. Sementara itu, kebanyakan orangtua juga kurang memperhatikan masalah ini. Anak-anak remajanya seperti terlepas dari orangtua mereka. Seperti inilah yang harus menjadi perhatian serius bagi para pembimbing remaja ketika membimbing para remajanya. Namun, dalam tulisan ini saya tidak bermaksud  untuk menghakimi siapa pun termasuk remaja sendiri. Saya lebih melihat sebuah sisi positif dari sebuah komunitas. Komunitas kehidupan remaja dapat menjadi suatu motivator bagi remaja itu sendiri apabila pembina mampu mengelola suatu strategi yang tepat dan sesuai kebutuhan. Dalam komunitas remaja itu terdapat suatu bentuk kepedulian satu dengan yang lain yang jarang sekali kita temukan dalam kehidupan orang dewasa. Menjadi penting bagi seorang pembimbing remaja untuk dapat melihat sisi positif kehidupan komunitas remaja agar dapat masuk dan mengikuti pola kehidupan remaja untuk dapat menanamkan rasa kepedulian yang lebih dalam bagi remaja itu sendiri.

Selain hal di atas, dalam tulisan ini pun saya berangkat konteks kehidupan komisi remaja yaitu Komisi Remaja GKI Jombang. Saya juga mencoba untuk memaparkan konteks dan situasi yang dialami saat ini oleh Komisi Remaja, landasan teologis yang mendasari strategi yang saya coba tawarkan baik dalam  kehidupan intern komisi maupun dalam kehidupan bersama, baru kemudian saya mencoba menawarkan sebuah strategi yang (mungkin) dapat membantu Komisi Remaja dalam menanamkan rasa kepedulian baik kepada sesama maupun kepada lingkungan yang ada di sekitarnya. Harapan saya melalui tulisan ini saya pun dapat belajar untuk lebih peduli kepada sesama dan pada lingkungan sehingga saya kelak sebagai pembina tidak hanya berteori saja melainkan juga mencoba untuk memberi sumbangsih bagi kehidupan remaja di masa kini maupn di masa yang akan datang.

II.  Komisi Remaja GKI Jombang: Konteks dan Situasinya
GKI Jombang merupakan salah satu jemaat GKI yang terletak di Jawa Timur, di kabupaten Jombang. Kabupaten Jombang berpenduduk mayoritas Islam dan terkenal dengan sebutan kota Santri karena dikelilingi empat pondok pesantren besar dan pondok-pondok pesantren kecil yang lainnya. Dalam lingkungan pondok ini pun terdapat kaum muda yang tinggal untuk belajar atau berstudi sambil mendalami ilmu agama. Jemaat GKI Jombang rata-rata tinggal di kota kabupaten dan sebagian kecil tinggal di kecamatan yang berada di pinggir kota kabupaten. Itulah konteks kota di mana GKI Jombang berada. Sekarang, saya mencoba memaparkan konteks Komisi Remaja GKI Jombang. Komisi Remaja awalnya bernama Komisi Pemuda Remaja, tetapi sejak beberapa tahun terakhir berubah nama menjadi Komisi Remaja dengan pertimbangan rentang usia yang semakin dekat.[1] Rentang usia di Komisi Remaja yang ada saat ini adalah 15 – 19 tahun. Namun, ada beberapa rentang usia 20-22 tahun yang seharusnya sudah di Komisi Pemuda tetap tergabung di Komisi Remaja. Jumlah anggota Komisi Remaja saat ini sekitar 15 orang tapi yang aktif sekitar 5-8 orang berbeda dengan periode-periode sebelumnya yang mencapai 30-40 orang.[2] Rata-rata yang tergabung dalam Komisi Remaja adalah siswa kelas 9 SMP – 12 SMA. Lingkungan tempat tinggalnya dekat dengan gereja sehingga memudahkan mereka mengakses transportasi ke gereja. Mereka berstudi di dalam kota dan beberapa orang ada yang sekolah di luar kota tapi pulang setiap minggunya sehingga mereka dapat mengikuti kegiatan rutin Komisi Remaja. Latar belakang anggota rata-rata keturunan Cina dan sebagian keturunan Jawa, Batak, dan sebagian kecil Timor. Kegiatan-kegiatan yang dimiliki oleh Komisi Remaja adalah Ibadah Remaja setiap hari Minggu pk. 08.30 WIB, olahraga rutin setiap hari Jumat pk. 15.30 WIB, dan latihan musik setiap Jumat pk. 18.30 WIB. Selain kegiatan rutin, ada kegiatan tidak rutin yang diadakan dalam waktu tertentu seperti Persekutuan Gabungan dengan Komisi Remaja GKI atau gereja lain, camp klasis, dan masih banyak kegiatan yang lain.
Meskipun memiliki jumlah anggota yang terbilang sedikit dari segi kuantitas, mereka tetap dapat mengadakan berbagai kegiatan yang telah direncanakan. Di luar kegiatan yang telah terprogram, para remaja GKI Jombang memiliki kebiasaan untuk sekedar kumpul-kumpul guna mencetuskan ide yang dapat memperakrab hubungan mereka atau hanya sekedar “rujakan” secara sederhana sambil bertukar pengalaman atau men-share-kan apa saja yang dialami selama satu minggu. Tak ketinggalan juga pengurus juga membagikan apa yang menjadi permasalahan dalam setiap sie guna mencari solusi yang dapat dilakukan bersama agar di kemudian hari tidak terjadi saling melempar tanggung jawab. Atau di kesempatan lain mengadakan semacam gathering sederhana selepas ujian untuk menyegarkan pikiran. Namun, saat ini keakraban itu juga terkendala oleh permasalahan pribadi maupun permasalahan relasi. Jumlah anggota yang semakin berkurang dan sulitnya menemukan SDM untuk kelanjutan Komisi ini juga menjadi problem yang cukup pelik bagi kami. Di sinilah sebenarnya diperlukan sebuah kepedulian di antara anggota dalam komisi agar permasalahan tersebut dapat terselesaikan serta semua anggota merasa enjoy berada dalam Komisi ini.   

III.              Komitmen, Tugas Panggilan Gereja Terhadap Jemaat Beserta Landasan Teologis
Gereja dalam membina para remajanya pastilah mempunyai komitmen dan panggilan yang mendasarinya. Komitmen dan panggilan tersebut tak terbatas hanya pada dirinya sendiri tetapi juga pada kehidupan bersama baik bersama dengan masyarakat maupun bersama lingkungan sekitarnya. Hal ini jugalah yang coba diterapkan oleh GKI Jombang. GKI Jombang mempunyai komitmen dan panggilan untuk mau terlibat dalam melayani jemaat mudanya, terkhusus pada Komisi Remaja. Tidak dapat dipungkiri bahwa tugas dan panggilan tersebut sangatlah diperlukan bagi perkembangan suatu komisi remaja karena tanpa komitmen dan panggilan gereja tidak akan dengan sungguh-sungguh mau melayani secara lebih baik atau dapat dikatakan gereja dengan seenaknya melayani jemaatnya. GKI Jombang menaruh perhatian cukup serius dalam menanggapi komitmen dan panggilannya kepada jemaat muda. Apalagi dengan problem yang cukup pelik yang dialami oleh Komisi remaja saat ini  Apa yang menjadi komitmen dan tugas gereja dalam membina jemaat mudanya tersebut?
Pertama, komitmen gereja dalam membina remajanya berdasarkan landasan teologis yang termaktub dalam hukum kasih yang terdapat dalam Matius 22:37-39. Dalam ayat-ayat ini Tuhan mengajarkan bahwa hendaknya kita harus mau menunjukkan kasih yang ada dalam diri kita ketika kita mau mengasihi Tuhan Allah seperti kita mau mengasihi diri kita sendiri. Mengapa demikian? Karena apabila kita mengasihi Tuhan tidak dengan segenap hati maka sia-sialah kasih yang kita tunjukkan, itu seolah-olah menunjukkan kasih yang semu dan tidak tulus. Melaksanakan hukum tersebut berarti kita mau menjalankan sebuah konsekuensi untuk mematuhi perintah Tuhan serta melaksanakannya.[3] Konsekuensi ini haruslah kita lakukan dengan sungguh-sungguh karena jika kita lakukan dengan asal-asalan pada akhirnya remaja yang kita bimbing pun juga menjadi remaja yang asal-asalan, remaja yang tidak mau melaksanakan perintah Tuhan dengan berlandaskan ketulusan hati. Konsekuensi yang kita jalankan tersebut secara tidak langsung juga menunjukkan bahwa kita mau melaksanakan perintah Tuhan seperti kita mengasihi diri kita sendiri.
Kedua, dalam hukum kasih tersebut selain kita harus menunjukkan kasih kita kepada Tuhan hendaknya kita juga menunjukkan kasih tersebut kepada sesama manusia. Hal ini penting dilakukan karena berarti kita berusaha mengejahwantahkan kasih Allah yang telah kita terima dari Allah dengan membagikannya kepada sesama. Ia telah mau mengasihi kita terlebih dahulu.[4] Lalu pertanyaan yang timbul dan siapakah sesama kita manusia? Seringkali kita mengasumsikan bahwa sesama kita manusia terbatas orang-orang yang kita cintai, orang-orang yang hanya terdapat di sekitar kita, dan orang-orang yang kita kenal. Padahal tidaklah demikian, sesama manusia yang dimaksud tidaklah terbatas pada orang-orang yang hanya terdapat di sekitar kita tapi juga semua orang termasuk musuh dan orang yang tidak kita kenal sekalipun. Satu-satunya cara yang menunjukkan kasih kita kepada Allah adalah dengan mau menunjukkan kasih kita kepada sesama.[5]
Berangkat dari kedua hal di atas, GKI Jombang dalam hal ini Komisi Remaja ingin mengejahwantahkan kasih yang telah Allah berikan. Komisi Remaja mempunyai sebuah program jangka panjang untuk menciptakan generasi muda yang mau peduli dan berkarya bagi Tuhan maupun sesama dengan menunjukkan kasihNya kepada sesama. Sesama yang dimaksud adalah komunitas remaja itu sendiri. Saya tidak dengan serta merta membuat sebuah idealisme bahwa sesama haruslah orang yang benar-benar tidak kita kenal. Justru kita harus memulainya dari orang-orang di sekitar kita, orang-orang yang dekat dengan kita. Penting sekali untuk menanamkan kasih tersebut dalam diri remaja mengingat remaja adalah pribadi yang terus bertumbuh dan berusaha terus untuk mencari siapa dirinya sebenarnya. Sehingga pare remaja juga dapat menunjukkan kasih itu kepada orang lain, tidak hanya kepada orang yang mereka kenal saja.

IV.              Tujuan Pendidikan Kristiani
Setiap pembinaan (baca: pendidikan) yang dilakukan oleh gereja pastilah mempunya tujuan karena tanpa tujuan yang jelas gereja dalam memberikan sebuah pembinaan bagi jemaat yang ada akan mengalami kebingungan dan ketidakjelasan arah ke mana mereka mengajak jemaatnya untuk bertumbuh. Tujuan menjadi hal yang mutlak diperlukan sehingga dalam membina jemaat terutama remaja, kita dengan mudah mampu melihat hal-hal apakah yang sebenarnya menjaid kebutuhan bagi remaja itu sendiri. Lalu, tujuan apa yang hendak dicapai oleh GKI Jombang dalam membina remajanya dengan berlandaskan pada komitmen kasih dalam bagian sebelumnya? Cukup sederhana apa yang ingin dicapai yaitu mengajak para remaja untuk mau terlibat aktif dalam mengasihi dan mau peduli kepada sesama. Kedua hal tersebut coba saya paparkan pada uraian berikut ini.
Pertama, mau terlibat aktif dalam mengasihi sesama dapat diwujudkan melalui berbagai kegiatan dan dalam tingkah laku kehidupan sehari-hari. Teribat aktif melakukan sesuatu yang merepresentasikan kasih yang kita miliki kepada sesama melalui bantuan dan pelayanan yang diberikan dalam berbagai kesempatan akan menimbulkan suatu perasaan kasih dalam diri orang tersebut.[6] Demikian pula hendaknya remaja ketika diajak untuk terlibat aktif dalam menunjukkan kasih yang mereka miliki kepada sesama dapat menjadi sebuah komitmen untuk terus berkarya bagi sesamanya, tidak hanya terbatas bagi diri sendiri.
Remaja hendaknya diharapkan ketika menunjukkan kasih yang dimiliki tersebut juga berangkat dari pengalaman pribadinya sendiri. Orang yang mengalami secara langsung penyataan kasih akan dengan mudah membagikan kasih yang dimilikinya tersebut kepada orang yang dikenal maupun orang yang sama sekali tidak dikenalnya. Melalui pengalaman yang dimilikinya juga remaja pun dapat menunjukkan kasihnya kepada orang lain, mereka juga dapat belajar bagaimana menyatakan kasih tersebut dan mengelolahnya menjadi sebuah habitus yang terus menerus coba dilakukan dan diuji oleh remaja itu sendiri. Pada akhirnya habitus tersebut menjadi sebuah karakter yang tertanam kuat dalam pribadi remaja lalu menjadi sebuah pola hidup yang berkelanjutan. Pola hidup yang berkelanjutan itu akan menjadi sebuah ppedoman yang tidak dapat dilupakan oleh remaja dan kelak ketika dewasa menjadi terbiasa untuk menyatakan kasih yang dimilikinya bagi lingkungan sekitarnya. Seperti ungkapan we learn to love by being loved. Belajar untuk mengasihi lewat pengalaman kasih yang kita alami.

V.  Belajar dari Taize: Sebuah Usulan Strategi Pembinaan Remaja
Melihat konteks dan situasi, komitmen dan panggilan gereja dalam membina remaja, serta tujuan diadakannya pendidikan Kristiani bagi remaja di GKI Jombang, maka dalam bagian ini saya mencoba untuk menawarkan sebuah strategi bagi pembinaan remaja yang tepat dan sesuai kebutuhan agar strategi tersebut tidak sia-sia dan dapat dimanfaatkan. Dalam membina remaja penting sekali mengetahui strategi apa yang sesuai bagi mereka agar pembina tidak kalang kabut. Tanpa strategi yang tepat dapat dibayangkan remaja berjalan tanpa langkah yang jelas dan mereka seakan-akan dapat terjatuh dalam ekstrim yang tidak diinginkan. Lalu, strategi apa yang sesuai dengan remaja GKI Jombang?
Strategi yang coba saya tawarkan adalah membangun sebuah komunitas yang berbagi kasih dan kepedulian yang dimulai dari dalam lalu keluar. Strategi ini saya adopsi dari komunitas Taize yang ada di Prancis. Kita bersama tahu bahwa Taize adalah sebuah komunitas doa meditatif yang sangat terkenal di dunia yang didirikan oleh Bruder Roger dan terus tumbuh sejak perang Dunia II. Bruder Roger adalah seorang Swiss yang rela meninggalkan tanah kelahirannya untuk membaktikan dirinya di Taize yang notabenenya adalah tanah kelahiran  ibunya. Taize sendiri adalah sebuah kota kecil yang terletak di kaki Pegunungan Burgundi.[7] Ia memulai komunitas ini ketika pecah perang Dunia II dan sempat menyembunyikan orang Yahudi yang lari dari daerah pendudukan untuk mencari tempat perlindungan. Bruder Roger yakin bila mereka bersembunyi di rumahnya pastilah mendapatkan perlindungan yang sesuai.
Tambah hari, orang yang tergabung dalam komunitas ini terus bertambah dan banyak biarawan yang juga ikut bergabung dalam komuitas ini. Bruder Roger sendiri juga membuat sebuah peraturan hakiki bahwasanya komunitas yang didirikannya memungkinkan berjalannya kehidupan bersama.[8] Para bruder yang tinggal dan hidup di Taize tidak hidup dari pemberian atau derma sendiri melainkan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, bahkan mampu berbagi nafkah yang dimilikinya. Mereka berusaha untuk hidupnya seadanya dan dalam keadaannya yang sama dengan orang-orang di sekitarnya untuk mewujudkan cinta kasih bagi orang-orang yang termarginalkan.[9] Pada akhirnya, setiap tahunnya tempat ini menjadi sebuah tempat ziarah doa yang didatangi oleh orang terutama kaum muda dari berbagai negara dengan perbedaan latar belakang, suku, budaya, bahasa, komunitas, paham gereja, dan segudang perbedaan yang lain untuk duduk bersama merenungkan sebuah pertanyaan batin yang mendalam tentang makna solidaritas manusia.[10] Komunitas ini tidak menyebut dirinya sebagai gereja, tetap menyatakan diri sebagai sebuah komunitas doa karena menyadari bahwa mereka berkumpul dan bersatu dari berbagai denominasi gereja yang berbeda dan berusaha tetap independen untuk tetap mempertahankan makna cinta kasih yang dibagikan bukan karena sebuah institusi dan keterpaksaan melainkan karena kebebasan, ketulusan, dan kesungguhan hati dari empunya kasih itu.
Strategi yang coba saya tawarkan adalah belajar dari komunitas yang mau berbagi, terbuka dan saling menerima satu dengan yang lain di tengah segala perbedaan dan keterbatasan yang ada. Setiap orang yang hadir dalam komunitas ini menyadari hal-hal tersebut dan selalu berusaha untuk terbuka dengan perbedaan yang ada. Di dalam komunitas Taize, kita dapat menemukan orang-orang yang siap sedia dan senang mendengarkan apa yang menjadi permasalahan kita.[11] Tidak hanya sekedar berkumpul saja tapi juga mencoba untuk men-share-kan apa yang menjadi permasalahan dan pergumulan kita. Di sini terjadi sebuah perjumpaan dan perayaan tentang perbedaan dalam keheningan dan kedamaian. Yang dimaksud di sini adalah bahwa orang-orang yang datang ke komunitas Taize tidak hanya sekedar berdoa kontemplatif, juga menemukan sebuah komunitas yang saling membangun dan memperlengkapi, terbuka terhadap setiap perbedaan yang ada meskipun mereka mempunyai perbedaan yang sangat. Tidak selalu perbedaan itu menjadi sebuah jurang pemisah antara orang yang satu dengan orang yang lain. Justru perbedaan itu menjadi sebuah perekat dan pembuka bagi jalan untuk melakukan suatu persahabatan yang intens. Melalui perbedaan itu kita juga bisa membuat persekutuan, seperti ungkapan yang disampaikan oleh Dionysius Areopagus, sebuah “keindahan persatuan” yang didapat tatkala kaum muda yang datang ke Taize menemukannya dalam komunitas yang sedang berdoa dan berbagi.
Seperti yang saya ungkapkan di paragraf sebelum-sebelumnya, komunitas ini tidak mengatasnamakan denominasi gereja tertentu. Mereka hanya mengatasnamakan komunitas Taize, sebuah komunitas yang universal dimana terdapat kesadaran dari kaum muda untuk berkumpul bersama tanpa memandang perbedaan dan sekaligus menjaga jati diri dari setiap yang hadir secara utuh. Mereka tidak diminta untuk meninggalkan kebangsaan ataupun denominasi gerejanya, sebaliknya melalui perbedaan-perbedaan yang ada diharapkan setiap orang yang hadir saling memperkaya dan belajar untuk saling menerima.[12] Di Taize sendiri persatuan itu muncul secara nyata, tidak hanya sekedar menjadi konsep yang abstrak sehingga hal ini menjadi hal yang baru dan penting. Persatuan yang terjadi dapat dilihat secara langsung dan berkelanjutan. Hal ini juga dapat dilihat bagaimana nilai tradisional Taize yang terus dipertahankan dan telah disesuaikan dengan zaman kini yaitu kemurahan hati atau sikap suka menyambut. Nilai tradisional ini sangatlah penting untuk terus dipertahankan dan diterapkan mengingat dengan majunya teknologi yang ada membuat orang memiliki kecenderungan untuk bersikap mementingkan dirinya sendiri tanpa mau melihat orang-orang di sekitarnya, bahkan dalam komunitasnya sendiri. Dengan kata lain, perlu mempertahankan sebuah komunio melalui dialog yang dibangun atas dasar realitas persatuan yang ada.[13] Persatuan yang terbentuk dari perbedaan-perbedaan yang ada dan nampak dalam kehidupan kita. Sekali lagi, tetap mau terbuka dan menghargai perbedaan itu sebagai sebuah entitas yang kaya sehingga kita tidak lagi selalu berspekuasi tentang ekuminisme tapi ekuminisme itu diwujudnyatakan secara langsung.
Lalu, strategi nyata apakah yang tepat bagi remaja di GKI Jombang? Pertama, memberikan makna sesungguhnya dari kasih dan menghargai. Tidak hanya sekedar mengungkapkan dalam kata-kata saja tapi juga melakukannya dalam tindakan sehari-hari. Sebagai pembina kita juga harus mau melakukannya tidak hanya di hadapan remaja yang kita bimbing tapi di mana pun kita berada dan membawa diri kita. Kita juga harus mau menempatkan diri kita pada orang yang kita kasihi, tidak hanya sekedar memberi tapi juga mau merasakan apa yang orang tersebut rasakan. Kedua, memberikan penguatan yang positif pada perilaku kasih pada diri remaja.[14] Penguatan positif akan perilaku kasih pada remaja memberikan dampak positif juga bagi mereka. Mereka dapat lebih bersemangat dalam mengasihi dan membuat mereka dapat secara kreatif menyatakan rasa kasih yang dimiliki serta mau menerima perbedaan yang ada di antar remaja itu sendiri. Namun perlu diingat juga bahwa kita sebagai orang dewasa tidak boleh berlebihan dalam memberi penguatan karena bila berlebihan dapat menjadi sebuah bumerang bagi kita sendiri dan bagi remaja yang bersangkutan. Ketiga, menunjukkan rasa peduli kita kepada remaja dengan apa adanya dan tulus murni. Tidak ditutupi dan tidak asal-asalan sehingga mereka juga dapat mewujudnyatakan kepedulian yang telah (mungkin) dilihat dan ada dalam diri mereka. Mereka bisa mendapatkannya melalui pengalaman secara langsung ketika berjumpa dengan orang lain.

VI.              Akhir Kata: Teruslah Belajar untuk Peduli
Sebuah konsep tidak akan berjalan tanpa adanya tindakan nyata dari yang empunya. Penting sekali untuk melakukan suatu konsep yang kita punya dengan sebuah tindakan nyata. Tidak perlu yang terlalu sulit, cukup dengan kemampuan yang kita miliki. Seperti dalam komunitas Taize, bahwa untuk mau peduli dan membangun sebuah kesatuan tidaklah perlu sampai mengorbankan orang lain atau pun diri sendiri, tapi coba untuk melakukan hal yang sederhana dan bermakna serta berguna bagi orang lain. Contoh, ketika ada orang yang datang kepada kita untuk menceritakan keluh kesahnya kepada kita tidaklah mungkin kita tinggalkan begitu saja, setidaknya kita berusaha untuk mendengarkan apa yang menjadi keluhannya dan pergumulannya. Dengan memberi diri kita untuk bersedia mendengar telah menunjukkan rasa peduli kita kepada sesama. Demikian pula yang dilakukan oleh komunitas Taize yang bertumbuh dalam perbedaan-perbedaan yang ada dimana perbedaan-perbedaan tersebut justru memperkaya entitas yang ada sehingga menjadi sebuah kashanah bagi sebuah persekutan yang hidup, persekutuan yang mau terbuka dan menghargai satu dengan yang lain. Melalui keterbukaan dan sikap mau saling menghargai itulah kita juga dapat belajar untuk tidak memarginalkan orang yang berbeda dengan kita, mau menerima perbedaan itu sebagai sebuah kewajaran tanpa mempermasalahkan dari mana datangnya. Melalui keterbukaan juga kita dapat melihat keanekaragaman dari ciptaan Tuhan yang Maha Agung. Perbedaan yang muncul dalam kehidupan itu juga ingin mengajak kita bersama bagaimana melihatnya melalui kacamata positif tanpa meninggalkan identitas yang telah kita miliki.
Kepedulian yang  kita pelajari atau (mungkin) sudah kita miliki dapat menjadi modal bagi diri kita untuk mampu mengasihi sesama. Berangkat dari kepedulian kita juga bisa menyajikan kasih yang kita miliki dengan lebih peka dan sungguh-sungguh. Tidak hanya sekedar mengasihi tapi juga mau berempati, “menjadi” orang yang kita kasihi. Selain itu, kita lebih mau menempatkan diri kita pada posisi yang tepat tanpa menyinggung perasaan orang lain. Remaja sangatlah memerlukan sikap-sikap seperti ini untuk membangun siapa diri mereka sebanarnya. Kepedulian tidaklah hanya ditunjukkan kepada sesama saja, tetapi juga kepada alam dan lingkungan sekitar kita. Peduli dengan melakukan hal yang sederhana dengan memperhatikan alam kita dan melakukan tindakan konkret yang sesuai kemampuan kita.
Sebuah refleksi yang bisa saya dapatkan bahwa remaja masihlah terus belajar untuk mencapai sebuah visi dalam hidup atau dalam suatu kehidupan. Ada lima hal yang perlu kita lakukan untuk mencapai tujuan tersebut, pertama menyatakan tujuan kita dengan kamlimat positif, kedua menyatakan tujuan kita secara spesifik, ketiga mengenali hal-hal yang mendukung dan menghambat tujuan kita, keempat tujuan kita haruslah ada di bawah kendali kita bukan kendali orang lain, dan kelima kita harus segera bertindak.[15] Itulah yang harus kita lakukan untuk mencapai tujuan dari pendidikan yang ingin kita berikan agar pendidikan yang kita berikan tidak hanya berhenti setelah selesai tapi tetap berkelanjutan sampai remaja tersebut dewasa.

Daftar Pustaka
Clement, Oliver. 2003. Taize: Mencari Makna Hidup. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Ismail, Stans. 2009. Mendidik Cinta Kasih dan Kepedulian dalam Andar Ismail Ajarlah Mereka Melakukan. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.
Purbiatmadi, Antonius dan Supriyanto, Marcus. 2010. Biji Sesawi Memindahkan Gunung. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
                                        


[1] Pertimbangan mengapa Komisi Pemuda Remaja berubah menjadi nama Komisi Remaja dikarenakan banyak pemuda yang sudah pindah ke luar kota untuk studi atau bekerja. Selain itu, di GKI Jombang juga telah dibentuk Komisi Dewasa Muda yang mewadahi pemuda yang tinggal sedikit di Jombang dan supaya dapat memperoleh wadah yang tepat sebelum beralih ke Komisi Dewasa.
[2] Di sini saya tidak bermaksud membandingkan, tetapi data ini menjadi gambaran permasalahan yang dihadapi.
[3] Stans Ismail, Mendidik Cinta Kasih dan Kepedulian dalam Andar Ismail “Ajarah Mereka Melakukan”,  (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2009) ed. Hal 168
[4] Stans Ismail, Mendidik Cinta Kasih, hal 169
[5] Stans Ismail, Mendidik Cinta Kasih, hal 169
[6] Stans Ismail, Mendidik Cinta Kasih, hal 180
[7] Olivier Clement, Taize: Mencari  Makna Hidup,  (Yogyakarta: Penerbt Kanisius, 2003), hal 107
[8] Clement, Taize, hal 108
[9] Clement, Taize, hal 109
[10] Clement, Taize, hal 109
[11] Clement, Taize, hal 29
[12] Clement, Taize, hal 34
[13] Clement, Taize, hal 55
[14] Stans Ismail, Mendidik Cinta Kasih dan Kepedulian dalam Andar Ismail “Ajarlah Mereka Melakukan”, (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2009) ed., hal 177
[15] Drs. Antonius Purbiatmadi, M.A. dan Marcus Supriyanto, S.Si.,  Biji Sesawi Memindahkan Gunung (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2010), hal 195-198

No comments:

Post a Comment