Pages

Friday, April 17, 2009

PRI dan Non-PRI

“Oh..kamu sih orang Cina, makanya apa-apa jadi susah deh!!???” Ungkapan ini sudah sangat sering kita dengar bahkan terkesan wajar. ungkapan ini mencermikan suatu pembedaan etnis yang (ternyata) sudah sangat lama terjadi, meskipun kita hidup di tanah dan negara yang mengaku sebagai negara demokrasi .Lalu sebnarnya apa yang terjadi? Maka kelompok mengangkat 3 tema sebagai cerminan apa yang sebenarnya terjadi di Indonesia (diambil sesuai dengan bahan bacaan kita pada hari ini). Berikut ulasannya:

  • Sebuah relasi dalam bermasyarakat tidak terlepas dari pandangan kita mengenai minoritas dan mayoritas. Namun sesungguhnya apa yang disebut minoritas itu sendiri? Apakah minoritas itu sendiri selalu berkaitan dengan jumlah? Kelompok setuju pada pernyataan yang ditulis oleh Mr Yap Thiam Hien, beliau mengatakan bahwa minoritas terjadi jika status dari kelompok tersebut dipisahkan, dieksklusifkan, dan didiskriminasikan oleh suatu dominan grup. Hal ini dapat dipahami bahwa kelompok disebut minoritas tidak hanya tergantung dari tataran jumlahnya namun terletak dari perlakuan pihak dominan. Contohnya: munculnya RUU APP yang pada awalnya datang dari golongan FPI (yang secara jumlah lebih sedikit dibandingkan dengan masyarakat Indonesia) mampu ”mempengaruhi” pemerintah (lewat usulan dari FPI) dan ”membuat” pemerintah akhirnya melegalkan menjadi UU APP.

Dari titik pemahaman tentang kaum minoritas dan mayoritas ini maka kita bisa lebih jauh lagi menariknya ke dalam ke-etnis-an yang menjadikan kaum mayoritas=pribumi sedangkan kaum minoritas=non pribumi (pemahaman ini berkembang dalam kehidupan masyarakat sekarang ini).

  • Di dalam tulisan Ariel Heryanto ia mengatakan sebuah pernyataan bahwa etnisitas adalah fiksi yang diterjemahkan secara konkret lewat sejumlah kebijakan legal yang diskriminatif sehingga kehidupan sosial terkotak-kotak. Masing-masing dengan pintu, warna formulir, kode nomor, stempel dan biaya berbeda. Kelompok mencoba melihat pernyataan ini sebagai cerminan realitas yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat sekarang. Khususnya dalam memperlakukan warga keturunan Tionghoa di Indonesia.

Di dalam negara kita berkembang istilah nonpibumi, yang salah satunya kita kenal, yaitu etnis Tionghoa. Kalau kita mengacu pada tulisan Ariel Heryanto sendiri bagaimana ia mengatakan bahwa asal mula dari istilah nonpribumi atau pribumi sendiri itu tidak dapat ditelusuri asal- muasalnya, karena penyebutan istilah ini sudah berlangsung secara turun-temurun yang berkembang di dalam masyarakat kita. Perkembangan istilah ini mempengaruhi bagaimana kedudukan warga keturunan Tionghoa di Indonesia bahkan negara harus mengatur keberadaan warga Indonesia keturunan Tionghoa sendiri dalam hukum.

Aturan hukum yang pernah mengatur tentang hubungan antara negara dan warga negara di Indonesia telah mengalami beberapa kali pergantian dan perkembangan, salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958. Namun undang-undang ini menunjukkan beberapa kelemahan yaitu tidak memenuhi unsur filosofis, yuridis, maupun sosiologis. Secara filosofis, Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 belum sejalan dengan falsafah Pancasila karena bersifat diskriminatif dan kurang menjamin pemenuhan hak asasi dan persamaan antar warga negara. Bahkan yang terjadi dan dirasakan sampai saat ini adalah pengaruh dari Keppres yang muncul pada tanggal 8 Juli 1996, dimana Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 56 Tahun 1996 tentang Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia. Pada Pasal 4 butir 2 berbunyi “Bagi warga negara Indonesia yang telah memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP), atau Kartu Keluarga (KK), atau Akte Kelahiran, pemenuhan kebutuhan persyaratan untuk kepentingan tertentu tersebut cukup menggunakan Kartu Tanda Penduduk, atau Kartu Keluarga (KK), atau Akte Kelahiran tersebut”, sedangkan Pasal 5 berbunyi, “Dengan berlakunya Keputusan Presiden ini, maka segala peraturan perundang-undangan yang untuk kepentingan tertentu mempersyaratkan SBKRI, dinyatakan tidak berlaku lagi”.

Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia atau biasa disingkat SBKRI adalah kartu identitas yang menyatakan bahwa pemiliknya adalah warganegara Republik Indonesia. Walaupun demikian, SBKRI hanya diberikan kepada warganegara Indonesia keturunan, terutama keturunan Tionghoa. Kepemilikan SBKRI adalah salah satu syarat yang harus dipenuhi seseorang untuk mengurus berbagai keperluan, seperti kartu tanda penduduk (KTP), memasuki dunia pendidikan, permohonan paspor, pendaftaran Pemilihan Umum, sampai menikah dan meninggal dunia dan lain-lain. Hal ini dianggap oleh banyak pihak sebagai perlakuan diskriminatif dan sejak Orde Reformasi telah dihapuskan, walaupun dalam prakteknya masih diterapkan di berbagai daerah.

  • Terorisme negara adalah serangkaian kampanye yang didukung oleh negara untuk menciptakan ketakutan mendalam dan luas di masyarakat. Tujuan daripada terorisme negara itu sendiri adalah mengembangkan ketakutan yang lebih besar di kalangan penduduk sehingga mereka merasa hal serupa bisa terjadi pada mereka kapan saja. Pernyataan ini kami kutip dari artikel ”Kapok Jadi NonPri: Terorisme Negara dan Isu Rasial” yang ditulis oleh Ariel Heryanto. Kami menyetujui pendapat ini karena fakta memang menunjukkan demikian. Contohnya, kasus kerusuhan Mei 1998. Dilihat dari kejadian tersebut yang sampai sekarang masih terus diselidiki dan hasil penyelidikan menunjukkan bahwa ada campur tangan negara dalam peristiwa tersebut. Dampak yang ada tidak hanya dialami oleh warga Indonesia keturunan Tionghoa sebagai korban terorisme negara tetapi juga warga negara Indonesia yang lain. Warga Tionghoa mengalami trauma yang cukup berat sehingga beberapa di antara warga Indonesia keturunan Tionghoa mengalami krisis kepercayaan, beban psikologis hingga hilangnya rasa saling menghargai. Warga Indonesia yang lain mengalami dampak berupa kekacauan ekonomi (pada saat itu) dan juga hilangnya rasa saling menghargai. Dilihat dari penjelasan di atas, negara ikut andil dalam perpecahan kesatuan NKRI dan sumber penyebab ketakutan yang membekas bagi rakyat Indonesia. Realita menunjukkan bahwa negara, yang selama ini kita anggap sebagai salah satu alat pemersatu bangsa dan menjadi pihak yang netral, ikut juga dalam proses perpecahan bangsa. Proses perpecahan ini berlangsung sedikit demi sedikit tapi pasti.

Dengan melihat 3 hal di atas kita menyadari bahwa perbedaan etnis sudah dan akan selalu ada, Namun itu bukan menjadi suatu penyebab disintegrasi dan diskriminasi tetapi justru perbedaan itu dihayati sebagai sebuah kekayaan yang mempersatukan bangsa Indonesia. Sebuah bagian dari keanekaragaman yang turut membentuk budaya dan corak bangsa.

Lalu apa yang akan kita lakukan sebagai masyarakat dalam penghayatan ini????? Mari kita diskusikan bersama di kelas.


No comments:

Post a Comment